Melalui jalan setapak ini, aku berjalan lurus sambil
menundukkan pandangan ku. Aku tak peduli meskipun tukang buah menatap,
mengharap aku yang membelinya pertama kali siang ini. Melalui barisan-barisan
batu putih di pinggir jalan. Sejenak ku berhenti memandangi pagar hitam ini,
saat ku lihat engkau sedang memanjakan diri dengan kekasihmu. Kembali ku
langkahkan kaki ini pada tujuannya. Meski berat ku rasa, antara sadar dan tidak
dia berhenti di bawah pohon cemara. Ku perhatikan buahnya jatuh satu persatu. Panas
siang ini membuatnya tak dapat bertahan pada ranting yang diterpa sinar
mentari. Sehingga ia berjalan pada tujuannya untuk menjadi benih baru.
Melihat lelaki gagah di bawah pohon pinus, tubuhnya yang
kuat dan kekar perlahan-lahan membungkuk membayangkan masa lalunya.
Penyesalan-penyesalan yang terus menghantui hidupnya.
Dia melepas ransel di pundaknya. Segala sesuatu yang ia
pikul ditinggalkan begitu saja. Resah dalam batinnya tak kunjung lenyap begitu
saja. Sering kali dia memandang ke atas berharap lebih besar, terkadang dia
melihat ke bawah mensyukuri bahwa dia tidaklah lebih hina. Dia maju untuk
menemukan jati dirinya, terkadang dia harus mundur dari persimpangan takdirnya.
Bukan untuk khianat tapi untuk kebaikan hidupnya. Kiranya raja tak akan
sempurna tanpa seorang ratu, maka begitu pun aku tak akan sesempurna
kehadiranmu di sisiku. Namun apa gunanya kita bahagia bila orang lain menderita.
Ku pendam lagi semua beban ke dalam ranselku. Aku tak
menginginkan tuhan menjauh dari diriku. Tapi aku semakin jauh dari mu
kekasihku. Biarlah aku bersama tuhanku lebih dahulu.
Lelaki gagah ini kembali merancu untuk memutuskan perkara
yang hadir kala itu. Dua pilihan yang harus pilih. “Tak mungkin rasanya mundur
dari dua pilihan ini. Sebab aku telah masuk pada jurang yang dalam, sebaiknya
aku tak memperdalam lagi jurang ini” ucapnya.
Kini dia bersimpuh di hening malam. Mengabadikan keluh
kesahnya pada seluruh alam. Keringat dingin bercucuran hingga kini akalnya
telah tenggelam. Segala urusannya ia tinggalkan. Peluh dingin membuat ia lemas
dan terdiam. “Mengapa aku tidak dapat mensyukuri nikmat tuhan. Apa yang harus
aku lakukan” dia hanya dapat berbicara pada tuhan dengan kejujuran hati yang
paling dalam.
Semua berawal dari waktu ketika ia bersama kekasihnya di
pondok bambu di pematang sawah, duduklah dia berhadap-hadapan. Perempuan manja
itu selalu menatapnya walau terlihat malu-malu. Tiba-tiba ia merebahkan
tubuhnya, bersandar pada pundaknya seraya berkata “maukah engkau menjadi
imamku, akankah engkau tinggal bersamaku”. Ucapan yang sangat indah melebihi
kata romantis lainnya. Perasaan gundah dan bimbang muncul saat itu. Dia hanya
tersenyum mengacapkan kata “iya” dengan keragu-raguan. Sungguh mulia niat
perempuan itu. Tak sanggup bagiku untuk mengatakan kata “tidak” saat itu.
Namun benih telah tumbuh, tak mungkin lagi dia berada di
ujung ranting induknya. Penyesalan tinggallah penyesalan. Mengapa nasib ini tak
ku optimalkan. Lidah telah terlanjur berkata. Meskipun hati masih memendam rasa
suka. Lelaki itu tak lagi punya tujuan, dia telah salah memutuskan.
Mengulang sejarah baru....
Tak mungkin aku dapat membuat sejarah baru.....
“Paman, mengapa engkau tak mengatakan sejak dulu, bahwa ada
perempuan yang menyukaiku. Sekarang aku tak tahu apa maksudmu. Siapa sebenarnya
perempuan itu. Datangkanlah bidadari kepadaku tuhanku. Tapi aku tak sanggup
meninggalkanmu ranselku. Engkaulah tanggung jawabku. Aku akan memikulmu tanpa
ada siapa pun karena tidak mau melihatmu”.
Batu yang dia ukir dengan pisau sekian lama, kini telah
terpendam oleh batu yang lain. Masih dia teduh kayu putih, dia datangi oleh
seorang yang tak dia kenal lalu berkata, “Bidadari itu dikejar bukan ditunggu
kedatangannya, fokuslah dulu untuk perbaiki hidup. Sesungguhnya orang yang baik
pasangannya yang baik pula”. ia tak mengindahkan perkataan orang itu. Seperti
busur yang lepas tanpa arah begitulah baginya pesan itu.
Sampai saat di tidur malamnya dia tak
pernah menelan mimpi yang sempurna. Dia selalu terjaga karena mimpinya. Sudah
bertahun-tahun dia seperti ini. Badannya mulai ringan dan penyakitan. Di setiap
sakitnya dibantulah dia oleh teman-temannya untuk berobat. Bahkan oleh orang yang
dia sukai dulunya. Obat dari dokter hanya menyembuhkan rasa sakit di tubuhnya
bukan untuk menyembuhkan batinnya. Percuma obat itu ada di tempat tidurnya
namun hanya ia lirik semata. Tidak di telannya obat itu karena percuma.
“Sudah kau minum obat ini?” pertanyaan biasa yang ia dengar
bila ada yang menjenguk dia
Terkadang, pada teman akrabnya dia hanya menoleh saja.
Tak cukuplah ia dalam hidupnya melakukan salat Jumat 40
kali berturut-turut. Konon kata orang desa, “siapa yang dapat menunaikan salat
Jumat 40 kali berturut-turut, maka pahalanya sama dengan orang yang
sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah”
“Kalau kau tak bisa melakukan salat Jumat, setidaknya
engkau minum obat ini” ucap Lulu seorang temannya yang selalu bersama dia bila
akan pergi salat Jumat.
“Untuk apa aku menelan obat ini, di kalau aku telah sembuh
belum tentu ia menjadi kekasihku lagi. Aku telah lama mengukir masa depan
bersamanya. Kini ukiran itu telah tertutup oleh batu yang lain”.
“Tak perlulah engkau mengingatnya, yang penting sehatlah
engkau lebih dulu, supaya engkau dapat menggapai cita-citamu. Bukankah engkau
punya cita-cita sebelumnya. Orang tua mu tidak sudi engkau menderita seperti
ini, dia selalu berusaha membuatmu bahagia. Apa yang akan kamu balas padanya.
Cita-citamu sangat mulia, Telanlah, kemudian istirahatlah. Setelah salat Jumat
aku akan kemari”.
“Dalam hatinya dia sangat menyukai orang itu, apakah karena
sikap ku ini dia menghindar dari ku? Apakah karena aku tak memberi perhatian
lebih akibat beban yang ku bawa ini? Bagaimana bila ia setia dengan kekasihnya
yang baru? Bagaimana bila aku mencoba merebut dia dari pasangannya kini?
Bagaimana bila dia tidak mau? Bagaimana caranya supaya dia kembali ke
dekapanku? Bagaimana bila dia melakukan hal yang da senonoh bersama
pasangannya? Bagaimana bila dia tidak sesuci saat bersamaku? Apakah dia akan
kembali padaku dalam keadaan sesuci dulu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu muncul dalam
pikirannya. Seakan-akan tiada lagi harapan hidup di dunia ini bila
kekhawatirannya terjadi.
Dia membawa perempuan dari sisi batu putih itu. Kejutan
yang sangat tak terduga sore itu.
“Bersama siapa kau kemari?” Ucap lelaki itu dengan
terbata-bata
“Tak perlu kau pikirkan mengenai aku, sekarang tenangkan
pikiranmu, sekarang aku berada di dekatmu”. Ucap perempuan itu
Dituntunnya tangan lelaki itu memegang tangannya. Perempuan
itu seakan-akan tak sanggup untuk menepis jari-jemari darinya. Wajah pucatnya
sangat tampak seolah ia tak sanggup melepaskan jari-jemari itu di tangannya.
Lelaki itu pun diam merasakan damai dalam batinnya. Padahal sungguh perempuan
itu hanya bersandiwara saja, lalu ia pergi bersama kekasihnya yang lain ke
rumah di balik sisi batu putih itu.
Kini ia telah sembuh dari sakitnya. RUTAN tempat ia
berbaring dulu adalah balasan kepuasan batinnya. Perempuan itu telah hilang dan
tiada. Dia mulai mencari kehidupan lain bersama siapa saja yang ingin
bersamanya. Hanya satu kenangan yang ada, yaitu dua insan yang tak dapat
bersama.
Oleh Ridwan Dinata
23 Maret 2016
0 comments:
Posting Komentar