Minggu, 27 Maret 2016

Rumah di Sisi Batu Putih

Melalui jalan setapak ini, aku berjalan lurus sambil menundukkan pandangan ku. Aku tak peduli meskipun tukang buah menatap, mengharap aku yang membelinya pertama kali siang ini. Melalui barisan-barisan batu putih di pinggir jalan. Sejenak ku berhenti memandangi pagar hitam ini, saat ku lihat engkau sedang memanjakan diri dengan kekasihmu. Kembali ku langkahkan kaki ini pada tujuannya. Meski berat ku rasa, antara sadar dan tidak dia berhenti di bawah pohon cemara. Ku perhatikan buahnya jatuh satu persatu. Panas siang ini membuatnya tak dapat bertahan pada ranting yang diterpa sinar mentari. Sehingga ia berjalan pada tujuannya untuk menjadi benih baru.

Melihat lelaki gagah di bawah pohon pinus, tubuhnya yang kuat dan kekar perlahan-lahan membungkuk membayangkan masa lalunya. Penyesalan-penyesalan yang terus menghantui hidupnya.

Dia melepas ransel di pundaknya. Segala sesuatu yang ia pikul ditinggalkan begitu saja. Resah dalam batinnya tak kunjung lenyap begitu saja. Sering kali dia memandang ke atas berharap lebih besar, terkadang dia melihat ke bawah mensyukuri bahwa dia tidaklah lebih hina. Dia maju untuk menemukan jati dirinya, terkadang dia harus mundur dari persimpangan takdirnya. Bukan untuk khianat tapi untuk kebaikan hidupnya. Kiranya raja tak akan sempurna tanpa seorang ratu, maka begitu pun aku tak akan sesempurna kehadiranmu di sisiku. Namun apa gunanya kita bahagia bila orang lain menderita.

Ku pendam lagi semua beban ke dalam ranselku. Aku tak menginginkan tuhan menjauh dari diriku. Tapi aku semakin jauh dari mu kekasihku. Biarlah aku bersama tuhanku lebih dahulu.

Lelaki gagah ini kembali merancu untuk memutuskan perkara yang hadir kala itu. Dua pilihan yang harus pilih. “Tak mungkin rasanya mundur dari dua pilihan ini. Sebab aku telah masuk pada jurang yang dalam, sebaiknya aku tak memperdalam lagi jurang ini” ucapnya.

Kini dia bersimpuh di hening malam. Mengabadikan keluh kesahnya pada seluruh alam. Keringat dingin bercucuran hingga kini akalnya telah tenggelam. Segala urusannya ia tinggalkan. Peluh dingin membuat ia lemas dan terdiam. “Mengapa aku tidak dapat mensyukuri nikmat tuhan. Apa yang harus aku lakukan” dia hanya dapat berbicara pada tuhan dengan kejujuran hati yang paling dalam.

Semua berawal dari waktu ketika ia bersama kekasihnya di pondok bambu di pematang sawah, duduklah dia berhadap-hadapan. Perempuan manja itu selalu menatapnya walau terlihat malu-malu. Tiba-tiba ia merebahkan tubuhnya, bersandar pada pundaknya seraya berkata “maukah engkau menjadi imamku, akankah engkau tinggal bersamaku”. Ucapan yang sangat indah melebihi kata romantis lainnya. Perasaan gundah dan bimbang muncul saat itu. Dia hanya tersenyum mengacapkan kata “iya” dengan keragu-raguan. Sungguh mulia niat perempuan itu. Tak sanggup bagiku untuk mengatakan kata “tidak” saat itu.

Namun benih telah tumbuh, tak mungkin lagi dia berada di ujung ranting induknya. Penyesalan tinggallah penyesalan. Mengapa nasib ini tak ku optimalkan. Lidah telah terlanjur berkata. Meskipun hati masih memendam rasa suka. Lelaki itu tak lagi punya tujuan, dia telah salah memutuskan.

Mengulang sejarah baru....

Tak mungkin aku dapat membuat sejarah baru.....

“Paman, mengapa engkau tak mengatakan sejak dulu, bahwa ada perempuan yang menyukaiku. Sekarang aku tak tahu apa maksudmu. Siapa sebenarnya perempuan itu. Datangkanlah bidadari kepadaku tuhanku. Tapi aku tak sanggup meninggalkanmu ranselku. Engkaulah tanggung jawabku. Aku akan memikulmu tanpa ada siapa pun karena tidak mau melihatmu”.

Batu yang dia ukir dengan pisau sekian lama, kini telah terpendam oleh batu yang lain. Masih dia teduh kayu putih, dia datangi oleh seorang yang tak dia kenal lalu berkata, “Bidadari itu dikejar bukan ditunggu kedatangannya, fokuslah dulu untuk perbaiki hidup. Sesungguhnya orang yang baik pasangannya yang baik pula”. ia tak mengindahkan perkataan orang itu. Seperti busur yang lepas tanpa arah begitulah baginya pesan itu.

            Sampai saat di tidur malamnya dia tak pernah menelan mimpi yang sempurna. Dia selalu terjaga karena mimpinya. Sudah bertahun-tahun dia seperti ini. Badannya mulai ringan dan penyakitan. Di setiap sakitnya dibantulah dia oleh teman-temannya untuk berobat. Bahkan oleh orang yang dia sukai dulunya. Obat dari dokter hanya menyembuhkan rasa sakit di tubuhnya bukan untuk menyembuhkan batinnya. Percuma obat itu ada di tempat tidurnya namun hanya ia lirik semata. Tidak di telannya obat itu karena percuma.

“Sudah kau minum obat ini?” pertanyaan biasa yang ia dengar bila ada yang menjenguk dia

Terkadang, pada teman akrabnya dia hanya menoleh saja.

Tak cukuplah ia dalam hidupnya melakukan salat Jumat 40 kali berturut-turut. Konon kata orang desa, “siapa yang dapat menunaikan salat Jumat 40 kali berturut-turut, maka pahalanya sama dengan orang  yang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah”

“Kalau kau tak bisa melakukan salat Jumat, setidaknya engkau minum obat ini” ucap Lulu seorang temannya yang selalu bersama dia bila akan pergi salat Jumat.

“Untuk apa aku menelan obat ini, di kalau aku telah sembuh belum tentu ia menjadi kekasihku lagi. Aku telah lama mengukir masa depan bersamanya. Kini ukiran itu telah tertutup oleh batu yang lain”.

“Tak perlulah engkau mengingatnya, yang penting sehatlah engkau lebih dulu, supaya engkau dapat menggapai cita-citamu. Bukankah engkau punya cita-cita sebelumnya. Orang tua mu tidak sudi engkau menderita seperti ini, dia selalu berusaha membuatmu bahagia. Apa yang akan kamu balas padanya. Cita-citamu sangat mulia, Telanlah, kemudian istirahatlah. Setelah salat Jumat aku akan kemari”.

“Dalam hatinya dia sangat menyukai orang itu, apakah karena sikap ku ini dia menghindar dari ku? Apakah karena aku tak memberi perhatian lebih akibat beban yang ku bawa ini? Bagaimana bila ia setia dengan kekasihnya yang baru? Bagaimana bila aku mencoba merebut dia dari pasangannya kini? Bagaimana bila dia tidak mau? Bagaimana caranya supaya dia kembali ke dekapanku? Bagaimana bila dia melakukan hal yang da senonoh bersama pasangannya? Bagaimana bila dia tidak sesuci saat bersamaku? Apakah dia akan kembali padaku dalam keadaan sesuci dulu?”

Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu muncul dalam pikirannya. Seakan-akan tiada lagi harapan hidup di dunia ini bila kekhawatirannya terjadi.

Dia membawa perempuan dari sisi batu putih itu. Kejutan yang sangat tak terduga sore itu.

“Bersama siapa kau kemari?” Ucap lelaki itu dengan terbata-bata

“Tak perlu kau pikirkan mengenai aku, sekarang tenangkan pikiranmu, sekarang aku berada di dekatmu”. Ucap perempuan itu

Dituntunnya tangan lelaki itu memegang tangannya. Perempuan itu seakan-akan tak sanggup untuk menepis jari-jemari darinya. Wajah pucatnya sangat tampak seolah ia tak sanggup melepaskan jari-jemari itu di tangannya. Lelaki itu pun diam merasakan damai dalam batinnya. Padahal sungguh perempuan itu hanya bersandiwara saja, lalu ia pergi bersama kekasihnya yang lain ke rumah di balik sisi batu putih itu.

Kini ia telah sembuh dari sakitnya. RUTAN tempat ia berbaring dulu adalah balasan kepuasan batinnya. Perempuan itu telah hilang dan tiada. Dia mulai mencari kehidupan lain bersama siapa saja yang ingin bersamanya. Hanya satu kenangan yang ada, yaitu dua insan yang tak dapat bersama.

Oleh Ridwan Dinata
23 Maret 2016


Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar