Selasa, 25 Oktober 2016

Narasi Sastra Lisan di Barengkrajan

Rekaman Tanah Kerajaan
 Oleh: Ayu Puji Lestari
           Cahaya masa kerjaan mulai terekam dalam benak orang yang membuka kembali kitab sejarah dari ufuk barat. Bayangan Majapahit telah mengindahkan wajah lautan nusantara. Wajah Majapahit telah mampu menenangkan lautan yang tenang tak berombak-ombak. Senen, saat itu telah dipasrahi mengurus wilayah kadipaten yang masih menjadi bagian dari Majapahit. Dia (Senen) seakan-akan menjadi penjaga yang teguh, penuh wibawa dan pikulan tanggung jawab peranakan Majapahit yang penuh dengan kegaiban dan kemenangan. Saat itu, Pangeran Senen beristrikan seorang putri cantik yang berasal dari kalangan penari tandak. Dia akrab dengan bunga melati di rambutnya dengan pipi merona dan di sinilah awal mula pertemuan mereka akan diceritakan.
            Pada masa Majapahit masih identik dengan pesta rakyat kerajaan untuk merayakan sesuatu, seperti kemenangan, perkawinan, hasil bumi, dan sebagainya. Pangeran Senen mencoba untuk mengundang tandak sebagai simbol kemenangan untuk kebahagiaan masyarakat sekitar kerajaan. Perayaan itu dimulai tiga hari tiga malam dengan pesta yang meriah dan penuh dengan unsur sakral kerajaan. Perayaan dimulai dengan tandak dan tayupan seorang putri tandak yang molek dan ayu parasnya bernama Pandan Sari. Kain ngremo kesana kemari berhiaskan bunga melati dan sanggul hitam beraroma pandan. Putri tandak menari kesana kemari dengan penuh kemolekan tubuhnya ternyata menarik perhatian pangeran Senen untuk menikahinya dan menjadikannya seorang istri. Benih-benih cinta mulai tumbuh dengan kuat di antara keduanya setelah menikah. Pandan Sari setia mendampingi Pangeran Senen, baik di saat bahagia ataupun saat perang tiba-tiba terjadi.
            Pada suatu hari konon kabarnya, sebuah ramalan kerajaan menyebutkan akan terjadi sebuah peperangan besar antar kadipaten di wilayah Majapahit karena sebuah pusaka kramat. Hari demi hari mulai terasa angin hangat di sepanjang wilayah kadipaten Sukodono, kadipaten Trosobo, dan kadipaten Trong Trong. Di kadipaten Trong Trong dipimpin oleh Nyi Rondo Pecat. Dia mempunyai beberapa keturunan, di antaranya Mbah Kombor yang disuruh meguru di wilayah Demak Bintoro. Pada suatu hari, Nyi Rondo Pecat jatuh sakit, dia menyuruh pengawalnya mencari Mbah Kombor. Pada saat itu di tengah perjalanan bertemu dengan sekelompok orang, di situlah terjadi perkelahian atau pertempuran yang sangat hebat. Peperangan tersebut terjadi karena royo’an pusaka wilayah kerjaan antar kadipaten. Pertempuran berlangsung sangat tragis hingga pusaka desa sempat berpindah-pindah tempat, dari Bareng Dukur ke Trong Trong, dari Trong Trong ke Sukodono, dan hal itu terjadi terus menerus hingga keduanya meninggal dunia di tempat saat pusaka mencoba direbut dari kadipaten Trong Trong (yang sekarang bernama Terung Kulon dan Terung Wetan). Pertempuran itu terjadi antara kelompok Mbah Kombor dan utusan dari kadipaten Trong Trong. Pangeran Senen dikabarkan wafat dalam perang pada tahun 1559. Saat itu yang merawat jenazah Mbah Kombor adalah danyang Putri Pandan Sari. Danyang Pandan Sari ditemani oleh Pandan Melati sebagai parewangan yang dulu juga ikut tandak bersamanya saat pesta rakyat. Mulai dari cerita ini, ujung tanduk punden mulai terbentuk setelah dimakamkannya Pangeran Senen di kadipaten Jenggolo (saat ini bernama desa Barengkrajan). Selama kehidupan pernikahan danyang Pandan Sari dan Senen, mereka memeroleh beberapa keturunan yang ikut meneruskan zaman wilayah yang terbengkalai di beberapa tempat yang berbeda. Selang beberapa tahun, Pandan Sari akhirnya hidup dalam kedamaian bersama Pandan Melati di kadipaten Jenggolo. Mereka memimpin wilayah dan masyarakatnya dengan cara yang bijaksana sehingga masyarakatnya sejahtera.
            Lantunan gamelan Jawa selalu terdengar sepeninggal Pangeran Senen. Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceritakan sebab-sebab Pandan Sari menjadi danyang di Desa Barengkrajan? Apakah dari sebab negerinya yang selalu mengadakan tradisi leluhurnya untuk nanggap wayang dan tandak setiap kali memohon agar wilayah mereka dijauhkan dari kelaparan, kekurangan sumber air, dan bencana? Di sawah-sawah yang bersusun-susun menjadi saksi sejarah? Ataukah di waktu gamelan Jawa mulai terdengar sampai melingkari aura desa yang sakral? Di dalam kalangan-kalangan warga sekitar, Pandan Sari diagung-agungkan karena telah melahirkan harapan baru dengan kepemimpinannya seorang diri sepeninggal suaminya si Senen. Pada akhirnya, Pandan Sari pun jatuh sakit dan dia dirawat oleh Pandan Melati hingga mereka wafat bersama dalam satu padepokan Islam di Bendomungal. Akhirnya mereka berdua dimakamkan oleh masyarakat di tempat sakral khusus di punden desa yang tinggi melambangkan Bareng Dukur telah lahir. Jenazah Senen, Pandan Sari dan Pandan Melati dimakamkan dalam satu wilayah di punden yang seterusnya akan dikramatkan selamanya hingga saat ini.


Foto 1: Makam danyang Nyai Pandan Sari (kanan) dan Raja Senen (kiri)
Sumber: dokumen pribadi

Putri Pandan Sari mempunyai beberapa keturunan yang meneruskan haluannya, di antaranya di tempatkan di Sidogirang yang sekarang ini di RT 1 RW 1, yang kedua di Kembang Mbah Kung atau Balong Jambe yang sekarang ini berada di RT 4 RW 2. Berikutnya ada yang ditempatkan di Sentono Rejo yang sekarang berada di RT 6 RW 2. Selanjutnya ada yang ditempatkan di Karang Kletak yang berada di RT 9 RW 3, ada juga yang ditempatkan di Karang Kitri yang sekarang berada di RT 8 RW 3, sedangkan yang umum adalah di Barengkrajan asli berada di RT 5 RW 2 yang merupakan punden pusat dari Nyai Pandan Sari, Nyai Pandan Melati, dan Pangeran Senin. Makam itu berdiri tegak menjulang dan tinggi bangunannya hingg saat ini. Makam itu berdampingan dengan tempat kramat pasangannya, yaitu sebuah sumur kramat yang dahulu diyakini sebagai sumber mata air penghubung dengan kadipaten Trong Trong. Makam dan sumur kuno tersebut dibangun dari material batu bata kuno yang merah merona berlapiskan darah perjuangan mendirikan kemakmuran wilayah kerajaan.

Foto 2: Punden Desa Barengkrajan
Sumber: dokumen pribadi


Foto 3: Sumur punden Desa Barengkrajan (belakang makam)
Sumber: dokumen pribadi


Foto 4: Tempat berdoa danyang dan sumur punden
Sumber: dokumen pribadi

Babad Alas Tanah Jenggolo
            Peraduan matahari sudah tampak disikapi oleh tanah rimbun Jenggolo (yang dulu berupa hutan rimba bekas wilayah Majapahit) yang mulai berangsur dibuka pada zamannya. Di sana sini kelihatan orang-orang sesepuh berlalu lalang mempersiapkan niatnya untuk mencari lahan agar tidak badar haluannya. Saat itu, ujung tanah Jenggolo sebelar lor, terlihat Sampur memulai kepemimpinannya mengajukan isi hatinya untuk mengajak para sebaya ikut serta meranggas rumput-rumput hutan di sepanjang wilayah Bendomungal hingga Bareng Dukur. Konon kabarnya, kalau ada orang yang bertambah matinya, mau dikubur di mana? Para sesepuh pun akhirnya mencoba bekerja sama dalam ribut-ribut babad alas Jenggolo yang saat itu masih dalam wilayah Demak Bintoro.
            Di waktu berbondong-bondong demikian, wilayah Jenggolo kelihatan hidup. Kepanasan dan kepayahan orang-orang sesepuh karena pekerjaannya, apabila telah sore diobati dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam teerlihat dari ujung kerajaan, lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin alas, yaitu panorama gelap hijau yang sengaja disuguhkan dekat bekas wilayah Majapahit. Di alas itulah, kira-kira ratusan tahun yang lalu, Sampur dan delapan sebayanya ikut babad alas wilayah Jenggolo, Bendomungal, dan Bareng Dukur yang masih jauh dari unsur politik kuno. Sebelah timur adalah Bendomungal yang merupakan tanah luas dan pusat peradaban Islam pada saat itu. Bendomungal dianggap suci oleh penduduk Bareng Dukur. Menurut kesepakatan orang tua-tua, bilamana Bendomungal dan Bareng Dukur akan bersatu dalam batas wilayah, maka makam dua wilayah harus dijadikan satu sebagai hibah perjuangan  dan itu telah terjadi sekitar kurang lebih 1816 hingga sekarang. 
            Sembilan orang yang terlibat babad alas terlihat antusias dalam ritual buka lahan. Mereka berbondong-bondong merayakan tradisi mereka dengan turut meminta izin pada pawang Desa Jenggolo. Sepeninggal pahlawan desa (Pandan Sari, Pandan Melati, Senen) itu tampak sangat diagung-agungkan oleh warga sekitar Jenggolo, Bendomungal, dan Bareng Dukur. Mereka mempercayai bahwa lahan hutan tersebut akan dibuka untuk menyatukan wilayah pemukiman dan pemakaman di antara ketiganya agar tidak badar haluan dan perang kembali karena kekuasaan. Mereka membuka lahan hutan dengan tujuan membuka penghidupan baru bersama para warga lain dengan misi menyebarkan Islam di pusat Bendomunal. Lahan makin lama makin luas gundulnya, berubah menjadi ladang-ladang, kebun, sumber air, gubuk-gubuk, dan jalan setapak.
            Ritual buka lahan dilakukan oleh sembilan orang sesepuh yang bergotong royong merangkas alas Bendomungal. Dua di antaranya berasal dari Bareng Dukur, yaitu Sampur dan Pekik. Sedangkan tujuh lainnya berasal dari Bendomungal dan Jenggolo lor, akan tetapi tidak dikenali namanya saat sumber yang dicari (buku sejarah desa) telah hilang karena pengaruh aturan hukum peradaban Islam yang semakin pesat saat itu. Wilayah yang dibuka pertama kali adalah wilayah Demak Bintoro yang masih sekerabat dengan Ngampel Dinto yang berada pada garis wilayah Majapahit, tepatnya di wilayah Krian Bareng Dukur sebagai titik babad pertama. Batas babad alas mulai dari wilayah Driyorejo sebelah lor, sedangkan kidule jalan masih ikut Majapahit. Berbeda pula jika Driyorejo bagian barat sudah masuk wilayah Surabaya saat itu. Kegiatan yang dilakukan sesepuh songo saat itu meliputi wilayah Pendopo Agung yang dijadikan bangunan pertama kali untuk lambang membuka lahan sebagai wilayah desa oleh sesepuh Munajat.  Setelah babad alas diselesaikan sedikit demi sedikit, mulai membentuk 9 cakupan wilayah yang berbeda-beda namanya karena yang turut mangkasi alas berjumlah 9 orang, antara lain Bendomungal, Bareng Dukur, Jenggolo, Barengkrajan, Bareng Pesantren, dan empat cakupan lagi tidak terdeteksi nama wilayah aslinya karena dianggap ikut dalam cakupan Bareng Dukur sebagai induk wilayahnya yang paling tinggi letak geografisnya.  
            Darah muda lahan masih tercium dalam sanubari sesepuh. Mereka hendak menyatukan wilayah-wilayah babad alas yang telah rampung menjadi satu lahan tumpu Pendopo. Sembilan cakupan lahan yang ada mulai diberi nama agar para keturunan dapat hendak kawin, hendak berumah tangga, hendak melawan laga kawan-kawan sesama gadang untuk penyatuan sesepuh songo. Tetapi hal itu banyak mendapat halangan karena perdebatan segala bentuk bumi, seperti lahan, sawah, lading, dan makam. Lagi-lagi sesepuh adat mencoba menegakkan hukum adat atas pembagian wilayah agar tidak terjadi keserakahan. Pada suatu hari, malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di antara sesepuh songo. Pemimpin Bendomungal hendak mendirikan wilayah sendiri agar terpisah dari Bareng Dukur dan Jenggolo. Saat itu Bendomungal sudah mulai menyebarkan pusat ajaran Islam sebagai titik tumpu terbentuknya Bareng Pesantren. Perkataan itu dikatakan di atas Pendopo Agung Bareng Dukur, di hadapan anak cucu yang lain. Berkali-kali penolakan pusaka wilayah dibawa ke sana kemari untuk mendapat hak kekuasaan desa. Akhirnya tujuh wilayah babad alas sepakat untuk dijadikan tiga wilayah besar, yaitu Bareng Dukur, Bendomungal, dan Barengkrajan yang biasa disebut Ibuk’e Wak Sini.
            Bertahun-tahun berlalu dalam kemakmuran akibat aura positif sang danyang desa yang memberi kemakmuran pada desa Barengkarajan dan Bendomungal. Pundak topang desa terasa sebagai pemberi kerukunan antar warga yang mau menghormatinya sebagai wujud penghormatan karena telah melahirkan desa ini sebagai wujud kemerdekaan dan saksi bisu perjuangan antar tiga kadipaten, yaitu kadipaten Sukodono, kadipaten Trosobo, dan kadipaten Trong Trong. Hingga saat ini hubungan antar tiga kadipaten tersebut apabila dicari tahu akan menemukan keterlibatan sejaran dan hubungan antar punden desa.
            Mirisnya, saat kitab sejarah akhirnya dinyatakan hilang oleh sesepuh desa. Padahal saat itu wilayahnya mencakup dari Bendomungal hinggal Sukodono, hanya saja nama-namanya banyak yang tak lagi teringat. Hal itu dikarenakan masuknya Islam pada zamannya sudah mampu merubah paradigma masyarakat kuno. Semua sejarah dihilangkan lacaknya karena dianggap mempengaruhi keyakinan hati yang murni harus beragama Islam. Semua orang seperti tidak berani melisankan kembali sejarah itu. Oleh karena itu, apakah ada pelajaran sejarah saat ini? Padahal pelajaran sejarah itu dinilai penting sebagai pedoman pengetahuan tentang budaya. Maka dari itu sekarang cara mencari seluk-beluk sejarah pun agak susah rasanya. Hilangnya sejarah itu sekitar tahun 1961. Pelajaran sejarah sudah tidak lagi diajarkan. Hanya diajarkan untuk dihafalkan tetapi tidak dapat nilai di sekolah. Percayalah, apabila dunia sudah rusak, maka manusianya juga akan ikut rusak. Apalagi sekarang zamannya sudah politik. Islam saja dinilai politik yang dahulunya 72 sekarang sudah 92 macam Islam dengan banyak anggapan dan dasar yang beragam.



Sepeninggal Danyang Pandan Sari
            Bilamana setiap orang telah sampai ke Barengkrajan, desa yang dituju ataupun dicari, telah diteruskannya perjalanan ke Dusun Barengkrajan dengan wajah klemis penuh cahaya dari aura danyang dari punden katanya. Menurut keterangan orang setempat, di sanalah negeri dengan penduduk yang klemis dan bersinar wajah-wajahnya laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh desa yang pendirinya seorang tandak cantik yang gemulai, yang menurut adat Barengkrajan dinamai ibu’e  wak Sini. Maklumlah, orang di sana masyur di dalam menerima orang baru asalkan mempunyai niatan baik dan ijin dengan danyang. Pada sangkanya semula, jika ada orang lain datang ke Desa Barengkrajan, dia harus berhenti ketika melewati punden dan diharuskannya sungkem untuk memohon ijin lewat dan keselamatan perjalanan hidup. Padahal seketika ada orang lewat jalan Sentono, dia harus memiliki hati dan niat yang baik untuk memasuki Desa Barengkrajan agar memeroleh pangestu dari Nyai Pandan Sari sang danyang Barengkrajan. Maklum, dahulu peringatan Islam masih bercampur dengan animism dan dinamisme masyarakat. Apabila terdapat sepasang pengantin pun juga harus berhenti ketika melewati sentono untuk sungkem sejenak dan memohon restu kebahagiaan bahtera rumah tangga baru. Maka dari itu, dahulu para buyut selalu berdoa dalam hati mengingat danyang Barengkrajan agar anak cucu mereka diberi keselamatan dalam bekerja. Setiap terdapat dokar melintas juga harus berhenti untuk sungkem pada sigit. Apabila tidak izin dikhawatirkan akan datang bahaya dalam desa yang tidak terduga-duga. Bukankah orang-orang terdahulu memiliki gugon begitu adanya? Sehingga kepercayaan itu akhirnya menjadi kebiasaan hingga sekarang ini.
            Selepas Nyai Pandan Sari wafat, masyarakat desa selalu melakukan wujud penghormatan dan penghargaan kepadanya. Setiap ada orang yang punya gawe selalu bancakan di hari kamis dengan membawa nasi tumpeng dan cok bakal ke atas punden untuk dimakan bersama antar kaum laki-laki. Tradisi makan bersama biasanya berlangsung sebelum matahari tergelincir (sebelum dhuhur). Tradisi lainnya yang harus diabadikan adalah melaksanakan ruwat deso setiap tahun di bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Ruwat deso berarti menghilangkan apes desa. Biasanya terjadi menjelang bulan ramadhan. Sebenarnya sebutan paling sopan saat ini adalah sedekah bumi sebagai wujud syukur pada Yang Maha Kuasa atas kesejahteraan desa yang diberikan setiap tahunnya. Masyarakat Barengkrajan percaya bahwa tradisi ruwah deso harus dibarengi dengan pagelaran wayang kulit karena dahulunya danyang desa adalah seorang penari tandak di pewayangan. Apabila tidak diadakan pagelaran wayang dan sedekah bumi, ditakutkan Desa Barengkrajan akan terkena bencana dan wabah penyakit. Hal ini didasarkan pada pengalaman nyata pada puluhan tahun silam. Desa Barengkrajan pernah meninggalkan tradisi ruwah deso sekali dan akhirnya bencana desa datang menyerang secara tiba-tiba. Musibah itu diyakini sebagai bentuk kemarahan danyang Barengkrajan karena dianggap lalai dan melupakan jasa pahlawan desa. Sawah-sawah desa diserang hama wereng hingga akhirnya gagal panen dan warga desa dilanda kelaparan dan kekeringan sumber mata air. Setiap rumah terkena serangan wereng hingga terganggu tidurnya saat tengah malam. Akhirnya, atas inisiatif dari salah satu warga desa memutuskan untuk mengadakan pagelaran wayang mendadak dengan niat pribadi menyelamatkan kutukan desa.
            Pagelaran wayang yang diadakan setiap bulan Ruwah dijadikan pundak topang pertahanan keamanan desa dengan danyang. Pagelaran wayang berlangsung mulai dari pagi hari hingga keesokan harinya. Pagi hari diadakan tandakan dengan saweran sebagai lambang danyang. Siang hari dilanjutkan dengan tarian Remo khas wayang Jawa, dan malam hari hingga subuh adalah acara puncak wayang kulit desa. Menurut kepercayaan warga, setiap tengah malam saat pagelaran wayang kulit mencapai puncak cerita, dalang akan berinteraksi dengan danyang lewat salah satu tokoh wayang yang dimainkan dalang. Salah satu wayang akan dirasuki jiwa gaib dengan member pesan-pesan nasihat untuk warga desa.


Foto 5: Pagelaran Wayang Kulit saat Ruwat Deso Barengkrajan
Sumber: Karang Taruna Barengkrajan


           
            Berdasarkan kepercayaan masyarakat desa Barengkrajan tentang danyang desa yang pada dasarnya adalah seorang penari tandak yang cantik dan penuh dengan wangi-wangian pandan dan bunga melati, masyarakat desa melarang ada warga perempuan yang berdandan terlalu cantik. Hal ini dikarenakan ketakutan masyarakat desa Barengkrajan apabila ada orang yang berusaha menyaingi kecantikan Nyai Pandan Sari. Mereka tidak boleh berdandan terlalu berlebihan dan memakai melati terlalu banyak karena itu hanya boleh menjadi ciri khas Nyai Pandan Sari. Jadi, setiap perempuan yang masuk Desa Barengkrajan untuk tandak dilarang berdandan terlalu berlebihan dan dilarang memakai wewangian dan bunga melati terlalu banyak. Identitas Nyai Pandan Sari yang cantik, berbalut melati dan wewangian segar hanya boleh dimiliki dirinya sendiri. Hingga saat ini, tidak seorang pun warga yang berani berniat menyaingi kecantikan Nyai Pandan Sari.
            Selain punden yang berdiri tegak di Barengkrajan, terdapat sebuah sumur tua yang masih memiliki hubungan dengan punden desa. Sumur tua yang berada di belakang punden masih terdapat hubungan dengan punden desa. Sumur itu dipercaya memiliki aura gaib dan sakral. Sumur itu dianggap kramat oleh warga desa karena dihuni oleh ular gaib sebesar buah kelapa. Apabila kita ingin melihat ular tersebut, kita harus bertapa dan puasa terlebih dahulu untuk melihatnya. Siang puasa, malamnya topo dan mele’an bersila sampai mendapat wahyu dan didatangi oleh ular tersebut. Ular itu dipercaya menjadi utusan Nyai Pandan Sari untuk menyampaikan wahyu-wahyunya pada warga desa yang terpilih untuk diberkati.
            Maklum saja jika sumur tersebut sangat kental dengan aura gaibnya karena dahulu pernah da seorang warga desa Barengkrajan yang berniat mendirikan sebuah padepokan ludruk di desanya. Setiap hari di siang hari selalu melakukan latihan peran di sanggar Pendopo Agung. Ambisi Maknut agar ludruknya menjadi jaya membawanya ingin semedi di punden Pandan Sari agar mendapat restu dan wahyu. Hal itu dilakukannya dengan berpuasa dan bertapa hingga mendapat wahyu. Saat wahyu datang pada Maknut, dia berasil dibangunkan oleh sebuah cahaya yang berkilauan. Cahaya tersebut adalah sebuah perangkat pakaian remo yang berkilau dan pating clorot warnanya. Akan tetapi, dia tidak langsung mengambil pusaka tersebut saat mengetahui yang member pusaka remo tersebut adalah seekor ular sebesar ular naga yang membawa pakaian remo di mulutnya. Maknut merasa gemetar dan akhirnya tidak tatak mengambil pusaka tersebut dan akhirnya keplayu dan badar halauannya.
            Ada yang mengatakan pada zaman dahulu, apabila terdapat ular melintas di Barengkrajan dilarang untuk dibunuh karena ditakutkan ular tersebut mendo-mendo dari utusan punden desa. Ada yang mengatakan ular sentono bercirikan ekor buntung dan ukuran tidak terlalu panjang. Oleh karena itu, warga desa selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan apabila bertemu dengan ular di desa sebagai wujud berhati-hati. Warga hanya cukup mengusir ular dengan garam dan tidak perlu membunuhnya. Begitu banyak kepercayaan masyarakat Dusun Barengkrajan terkait punden yang menjadi pundak topang bermacam-macam budaya dan tradisi warga. Hal ini membuat adik zaman harus terus menyaksikan kearifan lokal bumi manusia yang semakin lama semakin maju. Tentu saja tidak akan terlepas dari unsur keyakinan masing-masing manusia dan berdasar paradigma dan tingkat ketertarikan mempelajari sejarah.


Foto 6: Bangunan Punden Barengkrajan yang Tinggi

Sumber: dokumen pribadi


GLOSARIUM
Kadipaten        : daerah yang dikuasai oleh seorang adipati
Babad alas      : membuka lahan baru
Danyang         : penjaga
Kali                 : sungai
Punden            : tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa
Buyut               : ibu dari nenek
Mbah               : nenek
Dipasrahi        : diberi amanah/kepercayaan
Tandak            : tari ronggeng
Tayupan          : pagelaran tarian yang dilakukan laki-laki dan perempuan diiringi gamelan dan tembang.
Ngremo           : tari remo
Meguru            : berguru
Royo’an           : berebut sesuatu
Parewangan    : orang kepercayaan
Nanggap         : menghadirkan suatu pertunjukan
Sesepuh           : orang tua yang dihormati
Badar              : gagal
Lor                  : utara 
Alas                 : hutan rimba
Hibah              : hadiah
Kidule              : sebelah selatan
Songo              : sembilan
Ibuke wak Sini : dataran yang dianggap paling rendah oleh masyarakat
Klemis             : mulus; halus
Sungkem          : tanda bakti hormat
Sentono           : tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa
Pangestu         : restu
Dokar              : delman
Sigit                 : tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa
Gugon             : aturan masyarakat yang berlaku dan harus dipatuhi; pakem
Gawe               : hajatan
Bancakan        : berbagi rezeki dan kebahagiaan
Cok bakal        : sesaji untuk ritual sakral Jawa
Ruwat deso      : sedekah bumi; menghilangkan kesialan desa
Apes                : sial
Saweran          : meminta uang pada penonton kepada pemain tari
Topo                : bertapa; berdiam diri agar mendapat wahyu
Melekan           : begadang; tidak tidur
Ludruk             : kesenian budaya Jawa yang berisikan sabdiwara yang dipertontonkan dengan menari dan menyanyi
Semedi             : bertapa; berdiam diri agar mendapat wahyu
Pating clorot   : sangat berkilau di setiap sisi dan sudut
Keplayu           : berlari-lari terbirit-birit
Mendo-mendo : menyamar
Pamong           : pengurus desa
Nyawer            : memberi uang kepada penari
Ngeruwat        : menghilangkan kesialan
Diarak             : diiringi
Merang            : dupa
Anak-putu        : anak-cucu
Wit                   : pohon

Bebarengan     : bersama-sama

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 comments: