Rekaman
Tanah Kerajaan
Oleh: Ayu Puji Lestari
Cahaya
masa kerjaan mulai terekam dalam benak orang yang membuka kembali kitab sejarah
dari ufuk barat. Bayangan Majapahit telah mengindahkan wajah lautan nusantara.
Wajah Majapahit telah mampu menenangkan lautan yang tenang tak berombak-ombak.
Senen, saat itu telah dipasrahi
mengurus wilayah kadipaten yang masih menjadi bagian dari Majapahit. Dia
(Senen) seakan-akan menjadi penjaga yang teguh, penuh wibawa dan pikulan
tanggung jawab peranakan Majapahit yang penuh dengan kegaiban dan kemenangan.
Saat itu, Pangeran Senen beristrikan seorang putri cantik yang berasal dari
kalangan penari tandak. Dia akrab
dengan bunga melati di rambutnya dengan pipi merona dan di sinilah awal mula
pertemuan mereka akan diceritakan.
Pada
masa Majapahit masih identik dengan pesta rakyat kerajaan untuk merayakan
sesuatu, seperti kemenangan, perkawinan, hasil bumi, dan sebagainya. Pangeran
Senen mencoba untuk mengundang tandak
sebagai simbol kemenangan untuk kebahagiaan masyarakat sekitar kerajaan.
Perayaan itu dimulai tiga hari tiga malam dengan pesta yang meriah dan penuh
dengan unsur sakral kerajaan. Perayaan dimulai dengan tandak dan tayupan
seorang putri tandak yang molek dan
ayu parasnya bernama Pandan Sari. Kain ngremo
kesana kemari berhiaskan bunga melati dan sanggul hitam beraroma pandan. Putri tandak menari kesana kemari dengan penuh
kemolekan tubuhnya ternyata menarik perhatian pangeran Senen untuk menikahinya
dan menjadikannya seorang istri. Benih-benih cinta mulai tumbuh dengan kuat di
antara keduanya setelah menikah. Pandan Sari setia mendampingi Pangeran Senen,
baik di saat bahagia ataupun saat perang tiba-tiba terjadi.
Pada
suatu hari konon kabarnya, sebuah ramalan kerajaan menyebutkan akan terjadi
sebuah peperangan besar antar kadipaten
di wilayah Majapahit karena sebuah pusaka kramat. Hari demi hari mulai terasa
angin hangat di sepanjang wilayah kadipaten
Sukodono, kadipaten Trosobo, dan kadipaten Trong Trong. Di kadipaten Trong Trong dipimpin oleh Nyi
Rondo Pecat. Dia mempunyai beberapa keturunan, di antaranya Mbah Kombor yang
disuruh meguru di wilayah Demak
Bintoro. Pada suatu hari, Nyi Rondo Pecat jatuh sakit, dia menyuruh pengawalnya
mencari Mbah Kombor. Pada saat itu di tengah perjalanan bertemu dengan sekelompok
orang, di situlah terjadi perkelahian atau pertempuran yang sangat hebat.
Peperangan tersebut terjadi karena royo’an
pusaka wilayah kerjaan antar kadipaten.
Pertempuran berlangsung sangat tragis hingga pusaka desa sempat
berpindah-pindah tempat, dari Bareng Dukur ke Trong Trong, dari Trong Trong ke
Sukodono, dan hal itu terjadi terus menerus hingga keduanya meninggal dunia di
tempat saat pusaka mencoba direbut dari kadipaten
Trong Trong (yang sekarang bernama Terung Kulon dan Terung Wetan). Pertempuran
itu terjadi antara kelompok Mbah Kombor dan utusan dari kadipaten Trong Trong. Pangeran Senen dikabarkan wafat dalam perang
pada tahun 1559. Saat itu yang merawat jenazah Mbah Kombor adalah danyang Putri Pandan Sari. Danyang Pandan Sari ditemani oleh Pandan
Melati sebagai parewangan yang dulu
juga ikut tandak bersamanya saat
pesta rakyat. Mulai dari cerita ini, ujung tanduk punden mulai terbentuk setelah dimakamkannya Pangeran Senen di kadipaten Jenggolo (saat ini bernama
desa Barengkrajan). Selama kehidupan pernikahan danyang Pandan Sari dan Senen, mereka memeroleh beberapa keturunan
yang ikut meneruskan zaman wilayah yang terbengkalai di beberapa tempat yang
berbeda. Selang beberapa tahun, Pandan Sari akhirnya hidup dalam kedamaian
bersama Pandan Melati di kadipaten Jenggolo. Mereka memimpin wilayah dan
masyarakatnya dengan cara yang bijaksana sehingga masyarakatnya sejahtera.
Lantunan
gamelan Jawa selalu terdengar sepeninggal Pangeran Senen. Wahai, dari manakah
pengarang yang lemah ini akan memulai menceritakan sebab-sebab Pandan Sari
menjadi danyang di Desa Barengkrajan?
Apakah dari sebab negerinya yang selalu mengadakan tradisi leluhurnya untuk nanggap wayang dan tandak setiap kali memohon agar wilayah mereka dijauhkan dari
kelaparan, kekurangan sumber air, dan bencana? Di sawah-sawah yang
bersusun-susun menjadi saksi sejarah? Ataukah di waktu gamelan Jawa mulai
terdengar sampai melingkari aura desa yang sakral? Di dalam kalangan-kalangan
warga sekitar, Pandan Sari diagung-agungkan karena telah melahirkan harapan
baru dengan kepemimpinannya seorang diri sepeninggal suaminya si Senen. Pada
akhirnya, Pandan Sari pun jatuh sakit dan dia dirawat oleh Pandan Melati hingga
mereka wafat bersama dalam satu padepokan Islam di Bendomungal. Akhirnya mereka
berdua dimakamkan oleh masyarakat di tempat sakral khusus di punden desa yang tinggi melambangkan
Bareng Dukur telah lahir. Jenazah Senen, Pandan Sari dan Pandan Melati
dimakamkan dalam satu wilayah di punden
yang seterusnya akan dikramatkan selamanya hingga saat ini.
Foto
1: Makam danyang Nyai Pandan Sari
(kanan) dan Raja Senen (kiri)
Sumber: dokumen pribadi
Putri
Pandan Sari mempunyai beberapa keturunan yang meneruskan haluannya, di
antaranya di tempatkan di Sidogirang yang sekarang ini di RT 1 RW 1, yang kedua
di Kembang Mbah Kung atau Balong Jambe yang sekarang ini berada di RT 4 RW 2.
Berikutnya ada yang ditempatkan di Sentono Rejo yang sekarang berada di RT 6 RW
2. Selanjutnya ada yang ditempatkan di Karang Kletak yang berada di RT 9 RW 3,
ada juga yang ditempatkan di Karang Kitri yang sekarang berada di RT 8 RW 3,
sedangkan yang umum adalah di Barengkrajan asli berada di RT 5 RW 2 yang
merupakan punden pusat dari Nyai
Pandan Sari, Nyai Pandan Melati, dan Pangeran Senin. Makam itu berdiri tegak
menjulang dan tinggi bangunannya hingg saat ini. Makam itu berdampingan dengan
tempat kramat pasangannya, yaitu sebuah sumur kramat yang dahulu diyakini
sebagai sumber mata air penghubung dengan kadipaten
Trong Trong. Makam dan sumur kuno tersebut dibangun dari material batu bata
kuno yang merah merona berlapiskan darah perjuangan mendirikan kemakmuran
wilayah kerajaan.
Foto
2: Punden Desa Barengkrajan
Sumber: dokumen pribadi
Foto
3: Sumur punden Desa Barengkrajan
(belakang makam)
Sumber: dokumen pribadi
Foto
4: Tempat berdoa danyang dan sumur punden
Sumber: dokumen pribadi
Babad
Alas
Tanah Jenggolo
Peraduan
matahari sudah tampak disikapi oleh tanah rimbun Jenggolo (yang dulu berupa
hutan rimba bekas wilayah Majapahit) yang mulai berangsur dibuka pada zamannya.
Di sana sini kelihatan orang-orang sesepuh
berlalu lalang mempersiapkan niatnya untuk mencari lahan agar tidak badar haluannya. Saat itu, ujung tanah
Jenggolo sebelar lor, terlihat Sampur
memulai kepemimpinannya mengajukan isi hatinya untuk mengajak para sebaya ikut
serta meranggas rumput-rumput hutan di sepanjang wilayah Bendomungal hingga
Bareng Dukur. Konon kabarnya, kalau ada orang yang bertambah matinya, mau
dikubur di mana? Para sesepuh pun
akhirnya mencoba bekerja sama dalam ribut-ribut babad alas Jenggolo yang saat itu masih dalam wilayah Demak
Bintoro.
Di
waktu berbondong-bondong demikian, wilayah Jenggolo kelihatan hidup. Kepanasan
dan kepayahan orang-orang sesepuh karena
pekerjaannya, apabila telah sore diobati dengan menyaksikan matahari yang
hendak terbenam teerlihat dari ujung kerajaan, lebih-lebih lagi bila suka pula
pergi makan angin alas, yaitu
panorama gelap hijau yang sengaja disuguhkan dekat bekas wilayah Majapahit. Di alas itulah, kira-kira ratusan tahun
yang lalu, Sampur dan delapan sebayanya ikut babad alas wilayah Jenggolo, Bendomungal, dan Bareng Dukur yang
masih jauh dari unsur politik kuno. Sebelah timur adalah Bendomungal yang
merupakan tanah luas dan pusat peradaban Islam pada saat itu. Bendomungal
dianggap suci oleh penduduk Bareng Dukur. Menurut kesepakatan orang tua-tua,
bilamana Bendomungal dan Bareng Dukur akan bersatu dalam batas wilayah, maka
makam dua wilayah harus dijadikan satu sebagai hibah perjuangan dan itu
telah terjadi sekitar kurang lebih 1816 hingga sekarang.
Sembilan
orang yang terlibat babad alas
terlihat antusias dalam ritual buka lahan. Mereka berbondong-bondong merayakan
tradisi mereka dengan turut meminta izin pada pawang Desa Jenggolo. Sepeninggal
pahlawan desa (Pandan Sari, Pandan Melati, Senen) itu tampak sangat
diagung-agungkan oleh warga sekitar Jenggolo, Bendomungal, dan Bareng Dukur.
Mereka mempercayai bahwa lahan hutan tersebut akan dibuka untuk menyatukan
wilayah pemukiman dan pemakaman di antara ketiganya agar tidak badar haluan dan perang kembali karena
kekuasaan. Mereka membuka lahan hutan dengan tujuan membuka penghidupan baru
bersama para warga lain dengan misi menyebarkan Islam di pusat Bendomunal.
Lahan makin lama makin luas gundulnya, berubah menjadi ladang-ladang, kebun,
sumber air, gubuk-gubuk, dan jalan setapak.
Ritual
buka lahan dilakukan oleh sembilan orang sesepuh
yang bergotong royong merangkas alas
Bendomungal. Dua di antaranya berasal dari Bareng Dukur, yaitu Sampur dan
Pekik. Sedangkan tujuh lainnya berasal dari Bendomungal dan Jenggolo lor, akan tetapi tidak dikenali namanya
saat sumber yang dicari (buku sejarah desa) telah hilang karena pengaruh aturan
hukum peradaban Islam yang semakin pesat saat itu. Wilayah yang dibuka pertama kali adalah wilayah Demak Bintoro
yang masih sekerabat dengan Ngampel Dinto yang berada pada garis wilayah
Majapahit, tepatnya di wilayah Krian Bareng Dukur sebagai titik babad pertama. Batas babad alas mulai dari wilayah Driyorejo
sebelah lor, sedangkan kidule jalan masih ikut Majapahit.
Berbeda pula jika Driyorejo bagian barat sudah masuk wilayah Surabaya saat itu.
Kegiatan yang dilakukan sesepuh songo saat
itu meliputi wilayah Pendopo Agung yang dijadikan bangunan pertama kali untuk
lambang membuka lahan sebagai wilayah desa oleh sesepuh Munajat. Setelah babad alas diselesaikan sedikit demi
sedikit, mulai membentuk 9 cakupan wilayah yang berbeda-beda namanya karena
yang turut mangkasi alas berjumlah 9
orang, antara lain Bendomungal, Bareng Dukur, Jenggolo, Barengkrajan, Bareng
Pesantren, dan empat cakupan lagi tidak terdeteksi nama wilayah aslinya karena
dianggap ikut dalam cakupan Bareng Dukur sebagai induk wilayahnya yang paling
tinggi letak geografisnya.
Darah
muda lahan masih tercium dalam sanubari sesepuh.
Mereka hendak menyatukan wilayah-wilayah babad alas yang telah rampung menjadi satu lahan tumpu Pendopo.
Sembilan cakupan lahan yang ada mulai diberi nama agar para keturunan dapat hendak
kawin, hendak berumah tangga, hendak melawan laga kawan-kawan sesama gadang
untuk penyatuan sesepuh songo. Tetapi
hal itu banyak mendapat halangan karena perdebatan segala bentuk bumi, seperti
lahan, sawah, lading, dan makam. Lagi-lagi sesepuh
adat mencoba menegakkan hukum adat atas pembagian wilayah agar tidak terjadi
keserakahan. Pada suatu hari, malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di
antara sesepuh songo. Pemimpin
Bendomungal hendak mendirikan wilayah sendiri agar terpisah dari Bareng Dukur
dan Jenggolo. Saat itu Bendomungal sudah mulai menyebarkan pusat ajaran Islam
sebagai titik tumpu terbentuknya Bareng Pesantren. Perkataan itu dikatakan di
atas Pendopo Agung Bareng Dukur, di hadapan anak cucu yang lain. Berkali-kali
penolakan pusaka wilayah dibawa ke sana kemari untuk mendapat hak kekuasaan
desa. Akhirnya tujuh wilayah babad alas
sepakat untuk dijadikan tiga wilayah besar, yaitu Bareng Dukur, Bendomungal,
dan Barengkrajan yang biasa disebut Ibuk’e
Wak Sini.
Bertahun-tahun
berlalu dalam kemakmuran akibat aura positif sang danyang desa yang memberi kemakmuran pada desa Barengkarajan dan
Bendomungal. Pundak topang desa terasa sebagai pemberi kerukunan antar warga
yang mau menghormatinya sebagai wujud penghormatan karena telah melahirkan desa
ini sebagai wujud kemerdekaan dan saksi bisu perjuangan antar tiga kadipaten, yaitu kadipaten Sukodono, kadipaten
Trosobo, dan kadipaten Trong Trong.
Hingga saat ini hubungan antar tiga kadipaten
tersebut apabila dicari tahu akan menemukan keterlibatan sejaran dan hubungan
antar punden desa.
Mirisnya,
saat kitab sejarah akhirnya dinyatakan hilang oleh sesepuh desa. Padahal saat itu wilayahnya mencakup dari Bendomungal
hinggal Sukodono, hanya saja nama-namanya banyak yang tak lagi teringat. Hal
itu dikarenakan masuknya Islam pada zamannya sudah mampu merubah paradigma
masyarakat kuno. Semua sejarah dihilangkan lacaknya karena dianggap
mempengaruhi keyakinan hati yang murni harus beragama Islam. Semua orang
seperti tidak berani melisankan kembali sejarah itu. Oleh karena itu, apakah
ada pelajaran sejarah saat ini? Padahal pelajaran sejarah itu dinilai penting
sebagai pedoman pengetahuan tentang budaya. Maka dari itu sekarang cara mencari
seluk-beluk sejarah pun agak susah rasanya. Hilangnya sejarah itu sekitar tahun
1961. Pelajaran sejarah sudah tidak lagi diajarkan. Hanya diajarkan untuk
dihafalkan tetapi tidak dapat nilai di sekolah. Percayalah, apabila dunia sudah
rusak, maka manusianya juga akan ikut rusak. Apalagi sekarang zamannya sudah
politik. Islam saja dinilai politik yang dahulunya 72 sekarang sudah 92 macam
Islam dengan banyak anggapan dan dasar yang beragam.
Sepeninggal
Danyang Pandan Sari
Bilamana
setiap orang telah sampai ke Barengkrajan, desa yang dituju ataupun dicari, telah
diteruskannya perjalanan ke Dusun Barengkrajan dengan wajah klemis penuh cahaya dari aura danyang dari punden katanya. Menurut keterangan orang setempat, di sanalah
negeri dengan penduduk yang klemis
dan bersinar wajah-wajahnya laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak
menyangka-nyangka akan beroleh desa yang pendirinya seorang tandak cantik yang gemulai, yang menurut
adat Barengkrajan dinamai ibu’e wak Sini. Maklumlah, orang di sana masyur
di dalam menerima orang baru asalkan mempunyai niatan baik dan ijin dengan danyang. Pada sangkanya semula, jika ada
orang lain datang ke Desa Barengkrajan, dia harus berhenti ketika melewati punden dan diharuskannya sungkem untuk memohon ijin lewat dan
keselamatan perjalanan hidup. Padahal seketika ada orang lewat jalan Sentono, dia harus memiliki hati dan
niat yang baik untuk memasuki Desa Barengkrajan agar memeroleh pangestu dari Nyai Pandan Sari sang danyang Barengkrajan. Maklum, dahulu
peringatan Islam masih bercampur dengan animism dan dinamisme masyarakat.
Apabila terdapat sepasang pengantin pun juga harus berhenti ketika melewati sentono untuk sungkem sejenak dan memohon restu kebahagiaan bahtera rumah tangga
baru. Maka dari itu, dahulu para buyut selalu
berdoa dalam hati mengingat danyang
Barengkrajan agar anak cucu mereka diberi keselamatan dalam bekerja. Setiap
terdapat dokar melintas juga harus
berhenti untuk sungkem pada sigit. Apabila tidak izin dikhawatirkan
akan datang bahaya dalam desa yang tidak terduga-duga. Bukankah orang-orang terdahulu
memiliki gugon begitu adanya?
Sehingga kepercayaan itu akhirnya menjadi kebiasaan hingga sekarang ini.
Selepas
Nyai Pandan Sari wafat, masyarakat desa selalu melakukan wujud penghormatan dan
penghargaan kepadanya. Setiap ada orang yang punya gawe selalu bancakan di
hari kamis dengan membawa nasi tumpeng dan cok
bakal ke atas punden untuk
dimakan bersama antar kaum laki-laki. Tradisi makan bersama biasanya
berlangsung sebelum matahari tergelincir (sebelum dhuhur). Tradisi lainnya yang
harus diabadikan adalah melaksanakan ruwat
deso setiap tahun di bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Ruwat deso berarti menghilangkan apes desa. Biasanya terjadi menjelang
bulan ramadhan. Sebenarnya sebutan paling sopan saat ini adalah sedekah bumi
sebagai wujud syukur pada Yang Maha Kuasa atas kesejahteraan desa yang
diberikan setiap tahunnya. Masyarakat Barengkrajan percaya bahwa tradisi ruwah deso harus dibarengi dengan
pagelaran wayang kulit karena dahulunya danyang
desa adalah seorang penari tandak
di pewayangan. Apabila tidak diadakan pagelaran wayang dan sedekah bumi,
ditakutkan Desa Barengkrajan akan terkena bencana dan wabah penyakit. Hal ini
didasarkan pada pengalaman nyata pada puluhan tahun silam. Desa Barengkrajan
pernah meninggalkan tradisi ruwah deso
sekali dan akhirnya bencana desa datang menyerang secara tiba-tiba. Musibah itu
diyakini sebagai bentuk kemarahan danyang
Barengkrajan karena dianggap lalai dan melupakan jasa pahlawan desa.
Sawah-sawah desa diserang hama wereng hingga akhirnya gagal panen dan warga
desa dilanda kelaparan dan kekeringan sumber mata air. Setiap rumah terkena
serangan wereng hingga terganggu tidurnya saat tengah malam. Akhirnya, atas
inisiatif dari salah satu warga desa memutuskan untuk mengadakan pagelaran
wayang mendadak dengan niat pribadi menyelamatkan kutukan desa.
Pagelaran
wayang yang diadakan setiap bulan Ruwah dijadikan pundak topang pertahanan
keamanan desa dengan danyang. Pagelaran
wayang berlangsung mulai dari pagi hari hingga keesokan harinya. Pagi hari
diadakan tandakan dengan saweran sebagai lambang danyang. Siang hari dilanjutkan dengan
tarian Remo khas wayang Jawa, dan malam hari hingga subuh adalah acara puncak
wayang kulit desa. Menurut kepercayaan warga, setiap tengah malam saat
pagelaran wayang kulit mencapai puncak cerita, dalang akan berinteraksi dengan danyang lewat salah satu tokoh wayang
yang dimainkan dalang. Salah satu wayang akan dirasuki jiwa gaib dengan member
pesan-pesan nasihat untuk warga desa.
Foto
5: Pagelaran Wayang Kulit saat Ruwat Deso Barengkrajan
Sumber: Karang Taruna
Barengkrajan
Berdasarkan
kepercayaan masyarakat desa Barengkrajan tentang danyang desa yang pada dasarnya adalah seorang penari tandak yang cantik dan penuh dengan
wangi-wangian pandan dan bunga melati, masyarakat desa melarang ada warga
perempuan yang berdandan terlalu cantik. Hal ini dikarenakan ketakutan
masyarakat desa Barengkrajan apabila ada orang yang berusaha menyaingi kecantikan
Nyai Pandan Sari. Mereka tidak boleh berdandan terlalu berlebihan dan memakai
melati terlalu banyak karena itu hanya boleh menjadi ciri khas Nyai Pandan
Sari. Jadi, setiap perempuan yang masuk Desa Barengkrajan untuk tandak dilarang berdandan terlalu berlebihan
dan dilarang memakai wewangian dan bunga melati terlalu banyak. Identitas Nyai
Pandan Sari yang cantik, berbalut melati dan wewangian segar hanya boleh
dimiliki dirinya sendiri. Hingga saat ini, tidak seorang pun warga yang berani
berniat menyaingi kecantikan Nyai Pandan Sari.
Selain
punden yang berdiri tegak di
Barengkrajan, terdapat sebuah sumur tua yang masih memiliki hubungan dengan punden desa. Sumur tua yang berada di
belakang punden masih terdapat hubungan dengan punden desa. Sumur itu dipercaya memiliki aura gaib dan sakral.
Sumur itu dianggap kramat oleh warga desa karena dihuni oleh ular gaib sebesar
buah kelapa. Apabila kita ingin melihat ular tersebut, kita harus bertapa dan
puasa terlebih dahulu untuk melihatnya. Siang puasa, malamnya topo dan mele’an bersila sampai mendapat wahyu dan didatangi oleh ular
tersebut. Ular itu dipercaya menjadi utusan Nyai Pandan Sari untuk menyampaikan
wahyu-wahyunya pada warga desa yang terpilih untuk diberkati.
Maklum
saja jika sumur tersebut sangat kental dengan aura gaibnya karena dahulu pernah
da seorang warga desa Barengkrajan yang berniat mendirikan sebuah padepokan ludruk di desanya. Setiap hari di siang
hari selalu melakukan latihan peran di sanggar Pendopo Agung. Ambisi Maknut
agar ludruknya menjadi jaya membawanya ingin semedi di punden Pandan Sari agar mendapat restu dan wahyu. Hal itu
dilakukannya dengan berpuasa dan bertapa hingga mendapat wahyu. Saat wahyu
datang pada Maknut, dia berasil dibangunkan oleh sebuah cahaya yang berkilauan.
Cahaya tersebut adalah sebuah perangkat pakaian remo yang berkilau dan pating clorot warnanya. Akan tetapi, dia
tidak langsung mengambil pusaka tersebut saat mengetahui yang member pusaka
remo tersebut adalah seekor ular sebesar ular naga yang membawa pakaian remo di
mulutnya. Maknut merasa gemetar dan akhirnya tidak tatak mengambil pusaka tersebut dan akhirnya keplayu dan badar
halauannya.
Ada
yang mengatakan pada zaman dahulu, apabila terdapat ular melintas di
Barengkrajan dilarang untuk dibunuh karena ditakutkan ular tersebut mendo-mendo dari utusan punden desa. Ada
yang mengatakan ular sentono
bercirikan ekor buntung dan ukuran tidak terlalu panjang. Oleh karena itu,
warga desa selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan apabila bertemu dengan
ular di desa sebagai wujud berhati-hati. Warga hanya cukup mengusir ular dengan
garam dan tidak perlu membunuhnya. Begitu banyak kepercayaan masyarakat Dusun
Barengkrajan terkait punden yang
menjadi pundak topang bermacam-macam budaya dan tradisi warga. Hal ini membuat
adik zaman harus terus menyaksikan kearifan lokal bumi manusia yang semakin
lama semakin maju. Tentu saja tidak akan terlepas dari unsur keyakinan
masing-masing manusia dan berdasar paradigma dan tingkat ketertarikan
mempelajari sejarah.
Foto
6: Bangunan Punden Barengkrajan yang
Tinggi
Sumber: dokumen pribadi
GLOSARIUM
Kadipaten :
daerah yang dikuasai oleh seorang adipati
Babad
alas :
membuka lahan baru
Danyang :
penjaga
Kali :
sungai
Punden :
tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat
desa
Buyut :
ibu dari nenek
Mbah :
nenek
Dipasrahi :
diberi amanah/kepercayaan
Tandak :
tari ronggeng
Tayupan :
pagelaran tarian yang dilakukan laki-laki dan perempuan diiringi gamelan dan
tembang.
Ngremo :
tari remo
Meguru :
berguru
Royo’an :
berebut sesuatu
Parewangan : orang kepercayaan
Nanggap :
menghadirkan suatu pertunjukan
Sesepuh :
orang tua yang dihormati
Badar :
gagal
Lor :
utara
Alas :
hutan rimba
Hibah :
hadiah
Kidule :
sebelah selatan
Songo :
sembilan
Ibuke
wak Sini :
dataran yang dianggap paling rendah oleh masyarakat
Klemis :
mulus; halus
Sungkem :
tanda bakti hormat
Sentono :
tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat
desa
Pangestu :
restu
Dokar :
delman
Sigit :
tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat
desa
Gugon :
aturan masyarakat yang berlaku dan harus dipatuhi; pakem
Gawe :
hajatan
Bancakan :
berbagi rezeki dan kebahagiaan
Cok
bakal :
sesaji untuk ritual sakral Jawa
Ruwat
deso :
sedekah bumi; menghilangkan kesialan desa
Apes :
sial
Saweran :
meminta uang pada penonton kepada pemain tari
Topo :
bertapa; berdiam diri agar mendapat wahyu
Melekan :
begadang; tidak tidur
Ludruk :
kesenian budaya Jawa yang berisikan sabdiwara yang dipertontonkan dengan menari
dan menyanyi
Semedi :
bertapa; berdiam diri agar mendapat wahyu
Pating
clorot :
sangat berkilau di setiap sisi dan sudut
Keplayu :
berlari-lari terbirit-birit
Mendo-mendo : menyamar
Pamong :
pengurus desa
Nyawer :
memberi uang kepada penari
Ngeruwat :
menghilangkan kesialan
Diarak :
diiringi
Merang :
dupa
Anak-putu :
anak-cucu
Wit :
pohon
Bebarengan :
bersama-sama
Mbak ijin simpan ya...
BalasHapus