Oleh: Ratih Aulia Azhar
Sumber : Dokumen Pribadi
|
Dahulu kala di
Sidoarjo bagian utara terdapat hutan perawan yang tak bernama. hutan ini begitu gelap
karna banyak ditumbuhi pepohonan besar, semak-semak belukar serta hewan-hewan liar. Konon hutan
ini dijadikan pelarian oleh rakyat Sidoarjo yang tidak sanggup menahan perlakuan
biadap masa penjajahan Jepang. Banyak cerita mistis yang beredar pada
masyarakat sekitar hutan ini. Masyrakat
mempercayai siapapun yang masuk ke hutan ini tidak akan selamat, hanya
orang-orang yang mempunyai iman yang tinggi serta kekuatan gaib lah yang akan
berhasil selamat dan menemukan jalan keluar dari hutan ini.
Hingga pada suatu ketika
hutan ini tak sengaja di datangi dua orang kakek bersaudara mereka menggunakan sorban putih dan menungganggi kuda. Dua orang kakek tersebut
adalah seorang musafir yang menghabiskan hidupnya untuk menyebar agama
Islam dan menolong
rakyat miskin di daerah-daerah yang meraka lalui. Kakek bersaudara ini juga tidak pernah
memperkenalkan nama mereka kepada masyarakat. Namun, masyarakat menyebut kakek
musafir ini dengan sebutan Kakek Kaji dan Kakek Ayup. Nama yang diberikan
masyarakat juga mempunyai arti tersendiri di dalamnya. Kakek Kaji yang berarti
tinggi agamanya, pandai mengaji sera berdoa. Kakek Ayup yang berarti meneduhkan
karna sifat penolongnya. Kakek Ayub yang sedang mencari dedaunan untuk mereka
jadikan ramuan obat-obatan tidak sengaja melihat se’ekor banteng sedang mencari
makanan di luar hutan, kakek Ayub tertarik akan tubuh banteng yang besar dan hitam. Sehingga ia
memutuskan mengajak kakek Kaji untuk membantu menangkap banteng tersebut. Kakek Ayub berfikir apabila ia berhasil menangkap
banteng tersebut banteng itu akan mereka sembelih dan meraka jadikan makanan
untuk di santap bersama masyarakat miskin. Namun ketika ia hendak menangkap dengan
mengendap-endap di balik dedaunan yang rimbun banteng tersebut kaget dan lari
kencang masuk ke dalam hutan. Melihat banteng buruannya lari, tanpa berpikir
panjang segera dengan semangat kakek bersaudara mengambil kuda tumpangannya dan
lari mengejar banteng tersebut. Beberapa saat kedua kakek tersebut berjuang
sekuat tenaga untuk mengimbangi kecepatan lari banteng buruannya. Hingga kakek
Ayup yang semula berada dekat dengan banteng buruannya lama-kelamaan memperlambat laju kudanya dan seketika
berhenti. Kakek Kaji yang melihat saudaranya tiba-tiba berhenti berbalik
memutar kudanya untuk menghampiri kakek kayup “engkau lelah saudara ku?” kakek
ayup hanya mengangguk sembari memegangi dadanya, kakek Kaji menyambung lagi
perkataannya “mari kita beristirahat terlebih dahulu, dadamu terlihat sesak”.
Kakek Kaji tanpa menunggu perintah pertolongan dari kakek Ayup segera membantu
kakek Ayup untuk turun dari kudanya dan menyandarkan tubuh kakek Ayup di bawah
pohon yang rindang serta mengeluarkan air yang selalu ia sediakan dalam setiap
perjalanannya. Kakek kaji yang juga meresa leleh menyandarkan tubuhnya di
sebelah kakek Ayup. Rasa lelah yang dirasakan kakek Ayup dan kakek Kaji membuat dua kakek
musafir ini tertidur lelap di bawah pohon.
Hari semakin malam suara
binatang-binatang malam membuat kakek Ayup terbangun, ia kaget karna melihat langit yang
sudah gelap. Kakek Ayup segera membangunkan kakek Kaji “saudara tua ku,
bangunlah. Hari sudah gelap!”. Kekek Kaji yang mendengar suara saudaranya
segera bangun semabari memebenahi surbannya dan berkata “kita tidak akan dapat
keluar dari hutan malam ini, akan sulit menelusuri jalan keluar saat gelap,
tenanglah akan kucarikan kayu bakar untuk kita bermalam di hutan ini. Aku juga
membawa sedikit sisa makanan tadi pagi”. Mendengar perkataan kakek Kaji, kakek
Ayup sedikit lebih tenang ia juga ikut membantu kakek Kaji untuk mencari kayu
bakar dan sedikit ubi. Malam yang panjang tersebut mereka habiskan dengan
menyantap ubi bakar dan beberapa lauk yang dibawa kakek Kaji sisa makanan mereka
pagi tadi. Tak lupa setelah mereka menyantap makanan tersebut bersama, kakek
Kaji dan kakek ayup membaca ayat-ayat suci Al’quran dan beberapa doa pengantar
tidur.
Malam yang gelap
berganti pagi yang terang, kakek Ayup dan kakek Kaji segera bergegas untuk melanjutkan perjalan
dengan menelusuri hutan mencari jalan keluar. Namun tidak jauh dari tempat mereka
menginap semalam, kakek Kaji dan Ayup dikejutkan dengan se’ekor banteng hitam besar yang mereka buru kemarin. Niat untuk
menyembelih banteng tersebut seketika berganti dengan rasa iba karna melihat
kondisi banteng yang sekarat dan membutuhkan pertolongan. Sekitar tubuh banteng terdapat luka sayat dan kakinya pun
patah. Tanpa
berpikir panjang kedua kakek
tersebut segera
menolong dan membagi tugas satu sama lain. Kekek Kaji bertugas untuk mencari air di
sungai yang ia lalui tadi, sedangkan kakek Ayub bertugas untuk mencari beberapa daun
ramuan guna
membalut luka si banteng. Segera dari mengambil air, kakek Kaji perlahan
meminumkan air yang telah ia peroleh dan kakek Ayup yang telah usai meracik daun ramuan obat, membubuhkan ke dalam tubuh
banteng yang terluka. Rasa pedih yang timbul dari balutan ramuan daun membuat tubuh
banteng bergetar dan tak sengaja menendang kakek Ayup yang berada tepat di bawah
kaki banteng. Kakek Ayup terpental hingga berepa jarak dari tubuh banteng. Seakan
mengerti kondiri banteng kakek Ayup tidak marah dengan sabar ia memerintahkan
kakek Kaji yang berada di deket kepala banteng untuk mendekati telinga banteng dan membisikkan doa. Mendengar doa yang dibacan
kakek Kaji banteng
hitam yang kuat tersebut tertidur. Kakek Ayup yang melihat banteng tersebut
tertidur mengajak kakek Kaji untuk menjauh dan beristirahat sejenak di dekat pohon
yang ada di depan tubuh banteng. Sembari beristirahat mereka menatap tubuh banteng, kedua kakek
bersaudara ini makin merasa iba bila harus meninggalkan banteng dalam keadaan seperti ini. Akhirnya kakek Kaji dan
kakek Ayup
memutuskan untuk menetap sejenak di hutan hingga banteng yang mereka rawat kembali sehat dan gagah
seperti saat pertama mereka melihat banteng hitam tersebut.
Hari demi hari kakek Kaji dan
kakek Ayup
lewati dengan merawat banteng. Makan
yang mereka
makan, mereka
dapatkan dari berburu
hewan liar di hutan serta beberapa dedaunan untuk dijadikan pendamping lauk
buruannya. Hanya saja kedua kekek
bersaudra ini
merasa kesusahan bila memasuki musim hujan karna mereka tidak punya tempat untuk
berteduh. Hingga pada
suatu ketika kakek Ayup sakit akibat sering terkena hujan dan musim yang berubah-ubah. Melihat
saudara yang ia kasihi sakit, kakek Kaji meresa ia harus mengambil tindakan
besar untuk
menebang beberapa pohon dan mencari beberapa kayu untuk di jadikan gubuk berteduh. Kakek Kaji
dengan sabar dan ikhlas merawat sembari berjuang membangun gubuk untuk tempat
tinggal mereka berdua. Berkat ke ikhlasan kakek kakek Kaji, kakek Ayup pun
sembuh. Kekek Ayup juga memberi saran kepada kakek Kaji bahwa mereka tidak
mungkin memakan sayur serta hewan buruan setiap hari. Mereka harus membuka
sedikit lahan guna ditanami beberapa tumbuhan seperti padi, ubi dan jagung
untuk menyambung kehidupan di dalam hutan. Kakek Kaji yang mendengar saran dari
saudaranya berpikir bahwa benar mereka tidak mungkin menghabiskan hari-hari di
hutan hanya dengan bergantung pada buruan dan tumbuhan disekitar hutan. Lagi
pula banteng yang mereka rawat masih menunjukan tanda bahwa membutuhkan waktu
lama untuk pulih dari luka yang banteng derita. Kakek Kaji pun menyetujui saran
dari kakek Ayup. Dua orang kakek bersaudara tersebut kemudian bersama-sama menebang
pepohonan dan rerumputan, bahu membahu membangun gubuk dan membuka lahan persawahan
untuk menyebar bibit ubi dan padi yang dulu mereka dapatkan dari warga sebagai
tanda terima kasih karna telah menolong menyembuhkan beberapa penyakit.
Bulan demi bulan kakek Kaji dan
kakek Ayup
lewati dengan berkebun, tumbuhan dan persawahan yang mereka jaga juga memperlihatkan
hasil panen yang melimpah.
Sumber : Dokumen Pribadi
|
Tahun demi tahun
berganti, apa yang di tudukan warga kepada kakek Kaji dan kakek Ayup tidak
terbukti, penjaga masjid kembali ke kampung dengan membawa banyak hasil bumi.
Melihat penjaga tersebut pulang dengan selamat banyak warga yang
berbondong-bondong datang ke hutan untuk meninta izin tinggal bersama kakek
Ayup dan kakek Kaji. Karna baik budi kedua kakek bersaudara tersebut mereka
mengijinkan setiap warga yang datang dan meminta lahannya untuk mereka
tinggalli. Kakek Kaji dan kakek Ayup berpesan kepada setiap warga yang ingin
tinggal di lahannya, bahwa mereka harus hidup rukun, mengelolah dan menjaga
lahan persawahan dan tak lupa bergantian memberi makan banteng peliharaan kakek
Ayup dan kakek Kaji. Semakin banyak warga yang datang membuat hutan tersebut
seketika menajadi perkampungan. Kakek Kaji dan kakek Ayup merasa senang di umur
mereka yang sudah tua mereka berhasil untuk menyelamatkan para warga dari
kemiskinan. Tak lama setelah rasa kebahagian tersebut kakek Kaji berpulang
terlebih dahulu meninggalkan kakek Ayup. Jenazah kakek kaji dimakamkan tepat di
belakang gubuk mereka. Kakek Ayup sangat sedih, semenjak kepergian kakek kaji
ia merasa sangat kehilangan dan tidak pernah keluar dari gubuknya. Warga
sekitar satu-persatu bergantian untuk mengirim makanan kepada kakek Ayup.
Banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji juga tidak terlihat lincah seperti
biasanya saat kakek Kaji masih ada. Banteng tersebut hanya duduk dan makan
menandakan bahwa ia juga ikut merasakan kesedihan kakek Ayup. Hingga pada suatu
ketika setelah sholat subuh seorang warga yang mengantarkan makanan kepada
kakek Ayup menemukan kakek Ayup telah tiada dalam keadaan tertidur, kemudian
warga menguburkan jenazah kakek Ayup tepat di sebelah liang kubur kakek Kaji.
Semua warga yang menyaksikan penguburan tersebut meresa sedih. Setiap malam di
dekat makan kakek Ayup dan kakek Kaji dipenuhi warga yang membacakan ayat suci
Al’quran. Bahkan salah seorang warga juga melihat banteng kesangan kakek Ayup
dan kakek Kaji menangis bila mendengar lantunan doa dari para warga. Lantunan
doa ini di bacakan warga hingga tujuh hari tujuh malam berturut turut. Pada
malam ke tiga banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji mati. Warga
menguburkan banteng tersebut bersebelahan dengan makam ke dua kakek bersaudara
ini. Setelah acara doa malam ini selesai para pemuka agama yang dulu pernah
menjadi murid kakek Kaji dan kakek Ayup sepakat untuk membongkar gubuk kakek
Kaji dan kakek Ayup untuk mereka jadikan punden
tempat warga yang hendak mengirim doa kepada kedua kakek bersaudara tersebut.
Sumber : Dokumen Pribadi
|
Tradisi kirim doa ini juga tidak
berhenti sampai acara sedekah bumi desa atau kirim doa di bulan-bulan ruah saja, bahkan warga mempercayai bahwa
setiap mereka mendapat rezeki, bahkan hendak mengadakan syukuran atau menikahkan
anak mereka, mereka tidak boleh lupa menyekar
makam kakek Kaji dan kakek Ayup sebagai bentuk rasa trimakasih.
Tradisi ini
dijaga sangat lama oleh penduduk perkampuan bahkan dilaksanakan secara
turun-temurun. Pada zaman G30SPKI tahun 1965 punden dan kuburan tempat kakek
Kaji dan kakek Ayup di rusak dan di bakar. Para pejuang G30SPKI merasa bahwa
perbuatan warga adalah bagian dari perbuatan syirik karena menyembah dan berdoa
pada makam. Semua warga yang menyaksikan pembakaran gubuk tersebut menangis. Namun
mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya berdoa agar kakek Kaji dan
kekek Ayup tidak marah pada penduduk desa yang telah membiarkan makam mereka di
hancurkan. Setelah peristiwa tersebut warga tidak lagi datang untuk berdoa,
semua tradisi itu dihilangkan. Namun semenjak tradisi itu di hilangkan bencana
yang datang kedesa mereka semakin hari semakin besar. Desa yang selama ini para
warga tinggali mulai mendapat bencana. Lahan persawahan juga perkebunan yang
subur menjadi tandus, banyak petani yang gagal panen dan merugi. Anak-anak para
warga juga sering di rasuki roh halus bahkan banyak warga yang meninggal akibat
penyakit aneh. Banyak warga yang menduga ini adalah bentuk kemarahan kakek Ayup
dan kakek Kaji, mereka tidak boleh membiarkan bencana ini terus berlarut-larut
mereka harus datang ke pemakaman kakek Kaji dan kakek Ayup untuk meminta maaf
dan menggelar doa bersama. Para warga dan para pemuka agama di desa berbodong-
bondong datang ke pemakam kakek bersaudara ini tetapi mereka terkejut karna di
dekat sisa puing pembakaran makam kakek Ayup dan kakek Kaji di tumbuhi pohon Beringin
yang rindang.
Sumber: Dokumen Pribadi
|
Warga mempercayai bahwa tempat tumbuhnya
pohon Beringin yang rindang tersebut adalah makam banteng kesayangan kakek Ayup dan
kakek Kaji yang menjaga makam tersebut agar tetap aman dan teduh. Pohon
beringin yang tumbuh di atas makam banteng tersebut adalah bentuk rasa
trimakasih banteng karena kakek Ayup dan kakek Kaji pernah menongnya dari
sekarat. Setelah acara doa bersama warga membuat suatu kesepakatan bahwa mereka
harus membangun punden itu kembali
dan tidak boleh meninggalkan tradisi doa bersama sebagai bentuk rasa trimakasih
kepada kakek Kaji dan kakek Ayup. Benar setelah berdirinya punden, sawah yang dulu tandus kini subur kembali dan menghasilkan
hasil bumi yang sangat melimpah, semakin hari warga yang menderita penyakit
aneh lama-kelamaan sembuh dengan sendirinya. Dan perkampungan yang semula belum
memiliki nama tersebut diberi nama oleh para warga dengan nama Bantengan
seperti nama hewan peliharaan kakek Kaji dan kekek Ayup yang tidak pernah lupa
berterimakasih kepada orang yang menolongnya.
Sumber : Dokumen Pribadi
|
Dengan pemberian nama Bantengan tersebut
pada desanya, warga mempercayai desa mereka akan selalu dijaga dari bencana
oleh banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji sama seperti ketika banteng
tersebut berubah menjadi pohon beringin untuk melindungi makam orang yang ia
sayangi. Tradisi berdoa di punden dekat makam kakek Ayup dan kakek Kaji sebagai
bentuk rasa trimakasih juga tidak pernah di hilangkan kembali oleh warga dan
berlangsung hingga sekarang.
Sumber: Dokumen Pribadi
|
GLOSARIUM
Ø Punden : Tempat melangsungkan upacara
adat.
Ø Bulan Ruah : Bulan besar
dalam hitungan jawa biasanya di gunakan untuk hari
dimana pesta panen di
adakan.
Ø Menyekar : Upacara tabur bunga di makam orang
yang telah meninggal.
|
0 comments:
Posting Komentar