Selasa, 25 Oktober 2016

BABAT BANTENGAN

Oleh: Ratih Aulia Azhar


Sumber : Dokumen Pribadi
Dahulu kala di Sidoarjo bagian utara terdapat hutan perawan yang tak bernama. hutan ini begitu gelap karna banyak ditumbuhi pepohonan besar, semak-semak belukar serta hewan-hewan liar. Konon hutan ini dijadikan pelarian oleh rakyat Sidoarjo yang tidak sanggup menahan perlakuan biadap masa penjajahan Jepang. Banyak cerita mistis yang beredar pada masyarakat sekitar hutan ini.  Masyrakat mempercayai siapapun yang masuk ke hutan ini tidak akan selamat, hanya orang-orang yang mempunyai iman yang tinggi serta kekuatan gaib lah yang akan berhasil selamat dan menemukan jalan keluar dari hutan ini.
Hingga pada suatu ketika hutan ini tak sengaja di datangi dua orang kakek bersaudara mereka menggunakan sorban putih dan menungganggi kuda. Dua orang kakek tersebut adalah seorang musafir yang menghabiskan hidupnya untuk menyebar agama Islam dan menolong rakyat miskin di daerah-daerah yang meraka lalui. Kakek bersaudara ini juga tidak pernah memperkenalkan nama mereka kepada masyarakat. Namun, masyarakat menyebut kakek musafir ini dengan sebutan Kakek Kaji dan Kakek Ayup. Nama yang diberikan masyarakat juga mempunyai arti tersendiri di dalamnya. Kakek Kaji yang berarti tinggi agamanya, pandai mengaji sera berdoa. Kakek Ayup yang berarti meneduhkan karna sifat penolongnya. Kakek Ayub yang sedang mencari dedaunan untuk mereka jadikan ramuan obat-obatan tidak sengaja melihat se’ekor banteng sedang mencari makanan di luar hutan, kakek Ayub tertarik akan tubuh banteng yang besar dan hitam. Sehingga ia memutuskan mengajak kakek Kaji untuk membantu menangkap banteng tersebut. Kakek Ayub berfikir apabila ia berhasil menangkap banteng tersebut banteng itu akan mereka sembelih dan meraka jadikan makanan untuk di santap bersama masyarakat miskin. Namun ketika ia hendak menangkap dengan mengendap-endap di balik dedaunan yang rimbun banteng tersebut kaget dan lari kencang masuk ke dalam hutan. Melihat banteng buruannya lari, tanpa berpikir panjang segera dengan semangat kakek bersaudara mengambil kuda tumpangannya dan lari mengejar banteng tersebut. Beberapa saat kedua kakek tersebut berjuang sekuat tenaga untuk mengimbangi kecepatan lari banteng buruannya. Hingga kakek Ayup yang semula berada dekat dengan banteng buruannya lama-kelamaan memperlambat laju kudanya dan seketika berhenti. Kakek Kaji yang melihat saudaranya tiba-tiba berhenti berbalik memutar kudanya untuk menghampiri kakek kayup “engkau lelah saudara ku?” kakek ayup hanya mengangguk sembari memegangi dadanya, kakek Kaji menyambung lagi perkataannya “mari kita beristirahat terlebih dahulu, dadamu terlihat sesak”. Kakek Kaji tanpa menunggu perintah pertolongan dari kakek Ayup segera membantu kakek Ayup untuk turun dari kudanya dan menyandarkan tubuh kakek Ayup di bawah pohon yang rindang serta mengeluarkan air yang selalu ia sediakan dalam setiap perjalanannya. Kakek kaji yang juga meresa leleh menyandarkan tubuhnya di sebelah kakek Ayup. Rasa lelah yang dirasakan kakek Ayup dan kakek Kaji membuat dua kakek musafir ini tertidur lelap di bawah pohon.
Hari semakin malam suara binatang-binatang malam membuat kakek Ayup  terbangun, ia kaget karna melihat langit yang sudah gelap. Kakek Ayup segera membangunkan kakek Kaji “saudara tua ku, bangunlah. Hari sudah gelap!”. Kekek Kaji yang mendengar suara saudaranya segera bangun semabari memebenahi surbannya dan berkata “kita tidak akan dapat keluar dari hutan malam ini, akan sulit menelusuri jalan keluar saat gelap, tenanglah akan kucarikan kayu bakar untuk kita bermalam di hutan ini. Aku juga membawa sedikit sisa makanan tadi pagi”. Mendengar perkataan kakek Kaji, kakek Ayup sedikit lebih tenang ia juga ikut membantu kakek Kaji untuk mencari kayu bakar dan sedikit ubi. Malam yang panjang tersebut mereka habiskan dengan menyantap ubi bakar dan beberapa lauk yang dibawa kakek Kaji sisa makanan mereka pagi tadi. Tak lupa setelah mereka menyantap makanan tersebut bersama, kakek Kaji dan kakek ayup membaca ayat-ayat suci Al’quran dan beberapa doa pengantar tidur.
Malam yang gelap berganti pagi yang terang, kakek Ayup dan kakek Kaji segera bergegas untuk melanjutkan perjalan dengan menelusuri hutan mencari jalan keluar. Namun tidak jauh dari tempat mereka menginap semalam, kakek Kaji dan Ayup dikejutkan dengan seekor banteng hitam besar yang mereka buru kemarin. Niat untuk menyembelih banteng tersebut seketika berganti dengan rasa iba karna melihat kondisi banteng yang sekarat dan membutuhkan pertolongan. Sekitar tubuh banteng terdapat luka sayat dan kakinya pun patah. Tanpa berpikir panjang kedua kakek tersebut segera menolong dan membagi tugas satu sama lain. Kekek Kaji bertugas untuk mencari air di sungai yang ia lalui tadi, sedangkan kakek Ayub bertugas untuk mencari beberapa daun ramuan guna membalut luka si banteng. Segera dari mengambil air, kakek Kaji perlahan meminumkan air yang telah ia peroleh dan kakek Ayup yang telah usai meracik daun ramuan obat,  membubuhkan ke dalam tubuh banteng yang terluka. Rasa pedih yang timbul dari balutan ramuan daun membuat tubuh banteng bergetar dan tak sengaja menendang kakek Ayup yang berada tepat di bawah kaki banteng. Kakek Ayup terpental hingga berepa jarak dari tubuh banteng. Seakan mengerti kondiri banteng kakek Ayup tidak marah dengan sabar ia memerintahkan kakek Kaji yang berada di deket kepala banteng untuk mendekati telinga banteng dan membisikkan doa. Mendengar doa yang dibacan kakek Kaji banteng hitam yang kuat tersebut tertidur. Kakek Ayup yang melihat banteng tersebut tertidur mengajak kakek Kaji untuk menjauh dan beristirahat sejenak di dekat pohon yang ada di depan tubuh banteng. Sembari beristirahat mereka menatap tubuh banteng, kedua kakek bersaudara ini makin merasa iba bila harus meninggalkan banteng dalam keadaan seperti ini. Akhirnya kakek Kaji dan kakek Ayup memutuskan untuk menetap sejenak di hutan hingga banteng yang mereka rawat kembali sehat dan gagah seperti saat pertama mereka melihat banteng hitam tersebut.
Hari demi hari kakek Kaji dan kakek Ayup lewati dengan merawat banteng. Makan yang mereka makan, mereka dapatkan dari berburu hewan liar di hutan serta beberapa dedaunan untuk dijadikan pendamping lauk buruannya. Hanya saja kedua kekek bersaudra ini merasa kesusahan bila memasuki musim hujan karna mereka tidak punya tempat untuk berteduh. Hingga pada suatu ketika kakek Ayup sakit akibat sering terkena hujan dan musim yang berubah-ubah. Melihat saudara yang ia kasihi sakit, kakek Kaji meresa ia harus mengambil tindakan besar untuk menebang beberapa pohon dan mencari beberapa kayu untuk di jadikan gubuk berteduh. Kakek Kaji dengan sabar dan ikhlas merawat sembari berjuang membangun gubuk untuk tempat tinggal mereka berdua. Berkat ke ikhlasan kakek kakek Kaji, kakek Ayup pun sembuh. Kekek Ayup juga memberi saran kepada kakek Kaji bahwa mereka tidak mungkin memakan sayur serta hewan buruan setiap hari. Mereka harus membuka sedikit lahan guna ditanami beberapa tumbuhan seperti padi, ubi dan jagung untuk menyambung kehidupan di dalam hutan. Kakek Kaji yang mendengar saran dari saudaranya berpikir bahwa benar mereka tidak mungkin menghabiskan hari-hari di hutan hanya dengan bergantung pada buruan dan tumbuhan disekitar hutan. Lagi pula banteng yang mereka rawat masih menunjukan tanda bahwa membutuhkan waktu lama untuk pulih dari luka yang banteng derita. Kakek Kaji pun menyetujui saran dari kakek Ayup. Dua orang kakek bersaudara tersebut kemudian bersama-sama menebang pepohonan dan rerumputan, bahu membahu membangun gubuk dan membuka lahan persawahan untuk menyebar bibit ubi dan padi yang dulu mereka dapatkan dari warga sebagai tanda terima kasih karna telah menolong menyembuhkan beberapa penyakit.
Bulan demi bulan kakek Kaji dan kakek Ayup lewati dengan berkebun, tumbuhan dan persawahan yang mereka jaga juga memperlihatkan hasil panen yang melimpah.


Sumber : Dokumen Pribadi
 
Saat musim hujan tiba mereka tidak harus merasa kesusahan lagi karena gubuk yang mereka bangun dengan susah payah telah berdiri dengan kokoh dan layak untuk tempat berlindung yang nyaman. Banteng yang kakek Kaji dan kakek Ayup rawatpun mulai membaik. Bahkan setelah banteng yang mereka tolong ini dapat berdiri, banteng tersebut seakan mengerti rasa berterima kasih. Banteng hitam ini tidak meninggalkan kedua kakek bersaudara, ia selalu menjaga gubuk ketika kakek Ayup dan kakek Kaji tertidur. Di tengah-tengah kebagiaan akan hasil bumi yang mereka dapatkan kedua kakek bersaudara ini berfikir bagaimana bila mereka memindahkan rakyat miskin untuk tinggal di dalam hutan ini bersama mereka, tetapi sebelum warga miskin memindahkan kluarganya para kepala kluarga harus bersama- sama membantu kakek Kaji dan kakek Ayup untuk semakin memperluas membuka lahan hutan dan lahan persawahan.  Kakek Ayup dan kakek Kaji mulai menyebarkan berita secara berantai kepada penduduk sekitar hutan. Kedua kakek bersaudara ini juga datang ke pasar-pasar, ke masjid-masjid, dan juga tidak segan bertamu ke gubuk-gubuk warga miskin untuk menolong merubah nasip mereka. Mulanya banyak warga yang menolak, dan menganggap kakek bersaudara ini telah gila, karna tidak mungkin hutan yang selama ini diberitakan angker dan tak banyak orang yang selamat setelah memasuki hutan ternyata menyimpan banyak kesuburan lahan. Bahkan pada suatu malam warga yang dipimpin salah seorang kemuka agama di perkampungan tersebut datang ke masjid tempat kakek Kaji dan Kakek ayup menginap. Mereka meneriaki kakek ini degan sebutan “Pengikut iblis”  dan menyeret kakek bersaudara ini untuk keluar dari perkampungan mereka. Salah seorang pekerja di masjid yang sedang membersikan kamar mandi, kaget melihat perlakuan warga seperti itu ia segera berlari keluar dari kamar mandi untuk menolong kakek Ayup dan kakek Kaji “apa yang kalian lakukan? apa kalian tidak ingat siapa beliau, apa kalian tidak ingat siapa yang meneyembuhkan sadara kalian dari sakit? apa kalian tidak tau bagaimana cara memebalas budi sesama manusia!”. Seakan tidak terima di katakan tidak tau terima kasih, seorang warga yang kesal menjawab “tidak usah berkotbah di depan kami! kakek yang kau tolong itu adalah pengikut iblis! ia telah bersekutu bersama jin dan hanya menjadikan kami tumbal dengan memanfaatkan kemiskinan kami!”. Sembari memegangi dada kakek Kaji dengan sabar menjawab “demi agama ku, aku dan saudara ku tidak pernah bersekutu dengan iblis, kami hanya ingin membantu kalian untuk keluar dari kemiskinan, lahan hutan itu menyimpan banyak kesuburan, anak cucu kalian akan sejahtera bila tinggal di sana”. “Bohong!. Semua warga berteriak “kau hanya mengada-ada untuk membuat kami percaya dan setelah kami percaya kami akan kau serahkan pada iblis sembaan mu!!”. Menderngar hinaan warga membuat penjaga yang anaknya pernah di sembukan oleh kedua bersaudara ini merasa kasihan akan nasip kakek. Ia tau bahwa semua tuduhan warga kepada kakek salah, karna tidak mungkin kakek yang baik budi serta selalu menjaga imannya berani bersekutu dengan iblis. Dengan rasa iba, penjaga ini berkata “baiklah aku yang akan membuktikan sendiri perkataan kalian, aku akan ikut bersama kakek Kaji dan kakek Ayup esok, jika aku tidak kembali ke desa ini maka kalian boleh menganiaya bahkan memebunuh mereka!”. Mendengar perkataan pekerja masjid itu, semua warga bubar. Kakek Kaji dan kakek Ayup sangat berterima kasih pada pekerja masjid tersebut. Kedua kakek bersaudara ini bahkan mengatakan kepadanya bahwa “kau beserta anak istrimu tak usa membangun rumah, tinggallah bersama kami di gubuk kami, kelolah dan jaga hasil bumi yang selama ini aku dan saudara ku jaga”. Penjaga tersebut sangat senang dan terharu, ia memeluk kakek Ayup dan kakek Kaji dengan erat sebagai rasa trima kasih.
Tahun demi tahun berganti, apa yang di tudukan warga kepada kakek Kaji dan kakek Ayup tidak terbukti, penjaga masjid kembali ke kampung dengan membawa banyak hasil bumi. Melihat penjaga tersebut pulang dengan selamat banyak warga yang berbondong-bondong datang ke hutan untuk meninta izin tinggal bersama kakek Ayup dan kakek Kaji. Karna baik budi kedua kakek bersaudara tersebut mereka mengijinkan setiap warga yang datang dan meminta lahannya untuk mereka tinggalli. Kakek Kaji dan kakek Ayup berpesan kepada setiap warga yang ingin tinggal di lahannya, bahwa mereka harus hidup rukun, mengelolah dan menjaga lahan persawahan dan tak lupa bergantian memberi makan banteng peliharaan kakek Ayup dan kakek Kaji. Semakin banyak warga yang datang membuat hutan tersebut seketika menajadi perkampungan. Kakek Kaji dan kakek Ayup merasa senang di umur mereka yang sudah tua mereka berhasil untuk menyelamatkan para warga dari kemiskinan. Tak lama setelah rasa kebahagian tersebut kakek Kaji berpulang terlebih dahulu meninggalkan kakek Ayup. Jenazah kakek kaji dimakamkan tepat di belakang gubuk mereka. Kakek Ayup sangat sedih, semenjak kepergian kakek kaji ia merasa sangat kehilangan dan tidak pernah keluar dari gubuknya. Warga sekitar satu-persatu bergantian untuk mengirim makanan kepada kakek Ayup. Banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji juga tidak terlihat lincah seperti biasanya saat kakek Kaji masih ada. Banteng tersebut hanya duduk dan makan menandakan bahwa ia juga ikut merasakan kesedihan kakek Ayup. Hingga pada suatu ketika setelah sholat subuh seorang warga yang mengantarkan makanan kepada kakek Ayup menemukan kakek Ayup telah tiada dalam keadaan tertidur, kemudian warga menguburkan jenazah kakek Ayup tepat di sebelah liang kubur kakek Kaji. Semua warga yang menyaksikan penguburan tersebut meresa sedih. Setiap malam di dekat makan kakek Ayup dan kakek Kaji dipenuhi warga yang membacakan ayat suci Al’quran. Bahkan salah seorang warga juga melihat banteng kesangan kakek Ayup dan kakek Kaji menangis bila mendengar lantunan doa dari para warga. Lantunan doa ini di bacakan warga hingga tujuh hari tujuh malam berturut turut. Pada malam ke tiga banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji mati. Warga menguburkan banteng tersebut bersebelahan dengan makam ke dua kakek bersaudara ini. Setelah acara doa malam ini selesai para pemuka agama yang dulu pernah menjadi murid kakek Kaji dan kakek Ayup sepakat untuk membongkar gubuk kakek Kaji dan kakek Ayup untuk mereka jadikan punden tempat warga yang hendak mengirim doa kepada kedua kakek bersaudara tersebut.


Sumber : Dokumen Pribadi

Tradisi kirim doa ini juga tidak berhenti sampai acara sedekah bumi desa atau kirim doa di bulan-bulan ruah saja, bahkan warga mempercayai bahwa setiap mereka mendapat rezeki, bahkan hendak mengadakan syukuran atau menikahkan anak mereka, mereka tidak boleh lupa menyekar makam kakek Kaji dan kakek Ayup sebagai bentuk rasa trimakasih.
Tradisi ini dijaga sangat lama oleh penduduk perkampuan bahkan dilaksanakan secara turun-temurun. Pada zaman G30SPKI tahun 1965 punden dan kuburan tempat kakek Kaji dan kakek Ayup di rusak dan di bakar. Para pejuang G30SPKI merasa bahwa perbuatan warga adalah bagian dari perbuatan syirik karena menyembah dan berdoa pada makam. Semua warga yang menyaksikan pembakaran gubuk tersebut menangis. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya berdoa agar kakek Kaji dan kekek Ayup tidak marah pada penduduk desa yang telah membiarkan makam mereka di hancurkan. Setelah peristiwa tersebut warga tidak lagi datang untuk berdoa, semua tradisi itu dihilangkan. Namun semenjak tradisi itu di hilangkan bencana yang datang kedesa mereka semakin hari semakin besar. Desa yang selama ini para warga tinggali mulai mendapat bencana. Lahan persawahan juga perkebunan yang subur menjadi tandus, banyak petani yang gagal panen dan merugi. Anak-anak para warga juga sering di rasuki roh halus bahkan banyak warga yang meninggal akibat penyakit aneh. Banyak warga yang menduga ini adalah bentuk kemarahan kakek Ayup dan kakek Kaji, mereka tidak boleh membiarkan bencana ini terus berlarut-larut mereka harus datang ke pemakaman kakek Kaji dan kakek Ayup untuk meminta maaf dan menggelar doa bersama. Para warga dan para pemuka agama di desa berbodong- bondong datang ke pemakam kakek bersaudara ini tetapi mereka terkejut karna di dekat sisa puing pembakaran makam kakek Ayup dan kakek Kaji di tumbuhi pohon Beringin yang rindang.


Sumber: Dokumen Pribadi
 


Warga mempercayai bahwa tempat tumbuhnya pohon Beringin yang rindang tersebut  adalah makam banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji yang menjaga makam tersebut agar tetap aman dan teduh. Pohon beringin yang tumbuh di atas makam banteng tersebut adalah bentuk rasa trimakasih banteng karena kakek Ayup dan kakek Kaji pernah menongnya dari sekarat. Setelah acara doa bersama warga membuat suatu kesepakatan bahwa mereka harus membangun punden itu kembali dan tidak boleh meninggalkan tradisi doa bersama sebagai bentuk rasa trimakasih kepada kakek Kaji dan kakek Ayup. Benar setelah berdirinya punden, sawah yang dulu tandus kini subur kembali dan menghasilkan hasil bumi yang sangat melimpah, semakin hari warga yang menderita penyakit aneh lama-kelamaan sembuh dengan sendirinya. Dan perkampungan yang semula belum memiliki nama tersebut diberi nama oleh para warga dengan nama Bantengan seperti nama hewan peliharaan kakek Kaji dan kekek Ayup yang tidak pernah lupa berterimakasih kepada orang yang menolongnya.


Sumber : Dokumen Pribadi
 


Dengan pemberian nama Bantengan tersebut pada desanya, warga mempercayai desa mereka akan selalu dijaga dari bencana oleh banteng kesayangan kakek Ayup dan kakek Kaji sama seperti ketika banteng tersebut berubah menjadi pohon beringin untuk melindungi makam orang yang ia sayangi. Tradisi berdoa di punden dekat makam kakek Ayup dan kakek Kaji sebagai bentuk rasa trimakasih juga tidak pernah di hilangkan kembali oleh warga dan berlangsung hingga sekarang.


Sumber: Dokumen Pribadi



GLOSARIUM

Ø  Punden        : Tempat melangsungkan upacara adat.
Ø  Bulan Ruah : Bulan besar dalam hitungan jawa biasanya di gunakan untuk hari
                      dimana pesta panen di adakan.
Ø  Menyekar    : Upacara tabur bunga di makam orang yang telah meninggal.
 








Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar