Oleh: Rizky Fajrin N.
|
||||
|
Pada suatu hari berabad-abad tahun
silam, konon katanya terdapat sebuah tempat luas dan rimbun yang ditumbuhi oleh
pepohonan buah sawo namun tidak berpenghuni dan belum pernah dijamah oleh
tangan manusia, tempat tersebut kondisinya dapat dikatakan sangat
memprihatinkan, kumuh, mirip seperti hutan, dan bahkan dari kejauhan tampak
begitu menyeramkan, tidak hanya sampai disitu konon dahulu banyak suara hewan yang terdengar begitu jelas
oleh telinga. Menurut juru kunci dari desa yang bernama mbah Marwan, dahulu ada
seorang laki-laki parubaya yang memiliki kekuatan mistis sedang menyusuri jalan
setapak dan akhirnya sampai melewati tempat rimbun yang sekilas mirip hutan
tersebut, kemudian lelaki parubaya tersebut entah mengapa dapat muncul inisiatif
untuk membuka, membersihkan, dan berkeinginan untuk menjadikan tempat tersebut
sebagai tempat tinggal, inilah yang masih menjadi misteri khalayak mengapa
beliau memiliki niat untuk membersihkan hutan pohon sawo, dan ternyata untuk
membersihkan tempat tersebut untuk dijadikan sebagai tempat tinggal membutuhkan
waktu berbulan-bulan bahkan ada yang menyebutkan sampai betahun-tahun lamanya.
Dalam masyarakat Jawa, membuka suatu tempat yang rimbun, membersihkan, dan
berkeinginan untung bertempat tinggal disebut dengan istilah “Babad Desa”.
Setelah tempat tersebut dibersihkan oleh
laki-laki parubaya yang biasa dipanggil Mbah Sabdo terdapat beberapa masyarakat
yang mulai berdatangan dan membantu membersihkan semua lahan yang masih tertutupi
oleh pepohonan Sawo untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, meskipun masih
sedikit orang yang bermukim di desa tersebut, tetaplah selama berjalannya waktu
dan zaman mulai ada perkembangan, mulai dari pertambahan penduduk desa sampai
para pendatangg baik dari luar kota maupun luar propinsi mulai berdatangan.
Mereka mengaku mengetahui adanya lokasi desa baru ini dari penyebaran informasi
yang disampaikan kepada para tetangga desa lain, sampai memberi kabar pada para
sanak saudara yang dekat maupun sedang dalam jarak jauh untuk memberitahukan
bahwa terdapat desa baru yang mereka tempati sebagai tempat beristirahat dan
berteduh dari panasnya matahari maupun dinginnya angin malam.
Setelah terdapat kesepakatan antar
penduduk yang mendiami tempat yang awalnya semacam hutan yang rimbun tersebut
untuk menjadikan sebagai suatu Desa, Mbah Sabdo sebagai orang yang pertama
membuka tempat tersebut memberikan nama “Desa Sawo”, alasan dari Mbah Sabdo
untu memberikan nama desa sawo adalah dikarenakan pada awalmula mbah sabdo
melakukan Babad Desa mayoritas terdapat pepohonan sawo yang ada pada tempat
rimbun tersebut, sehingga Mbah Sabdo memberikan nama desa tersebut adalah desa
Sawo yang mengingatkan beliau terhadap peristiwa penemuan desa tersebut, tetapi
keputusan tersebut tidak lupa juga dengan
meminta persetujuan penduduk yang membantu ataupun yang bermukim di desa
tersebut.
Waktu terus berganti dan mbah Sabdo
akhirnya wafat. Beliau dimakamkan di makam daerah desa Sawo sebelah utara jauh
dari makam-makan para penduduk lainnya. Meskipun mbah Sabdo telah wafat masih
banyak orang yang mempercayai kekuatan mistisnya, sehingga banyak para warga
yang mendatangi makam untuk sekedar berdoa ataupun mengambil air sumur yang
terdapat di samping kanan makam beliau. Karena banyak penduduk yang mempercayai
keyakinan tersebut, akhirnya juru kunci maupun warga sekitar memutuskan untuk
menjadikan makam mbah Sabdo sebagai makam yang keramat atau makam yang
disucikan
Sumber:
Dokumen Pribadi
Gambar
2. Makam Keramat Mbah Sabdo
Waktu terus berlalu hingga tepat
peringatan satu tahun meninggalnya mbah Sabdo yang konon katanya bertepatan
dengan tanggal 11 Agustus tetapi tahun dari kejadian tersebut masih belum ada
yang mengetahui, juru kuncinyapun tidak ingat akan tahun yang pasti kejadian
tersebut terjadi. Kejadian aneh tersebut adalah adanya musibah yang amat
dahsyat terjadi di desa Sawo, pada saat itu terjadi hujan badai yang sangat
lebat sehingga mengakibatkan hampir semua rumah warga rusak, dan lebih parah
lagi kejadian tersebut juga menelan banyak korban jiwa, yaitu penduduk sekitar
yang bermukim di desa Sawo. Peristiwa hujan badai tersebut baru pertama kali
terjadi dalam sejarah menerpa desa selama desa Sawo didirikan, tetapi
angan-angan penduduk desa belum jauh berpikir bahwa musibah tersebut tepat pada
peringatan meninggalnya mbah sabdo, yang masyarakat pikirkan hanyalah sebatas
cobaan yang diberikan sang pencipta kepada umatnya sebagai ujian hidup. Namun,
kejadian selanjutnya juga terjadi tepat pada peringatan kedua wafatnya mbah
sabdo, kali ini bukan hujan badai seperti yang pernah terjadi sebelumnya,
tetapi giliran angin ribut atau lebih biasa dikenal dengan nama puting beliung
mampir dan menghampiri desa Sawo yang akibat dari puting beliung tersebut
banyak penduduk desa yang hilang terbawa angin, ada juga rumah warga yang
kondisinya rata dengan tanah, ada juga yang menderita luka-luka yang cukup
parah dengan bercucurn darah disekujur badannya.
Akhirnya setelah direnungkan oleh
penduduk desa, mereka kemudian mempunyai pikiran bahwa kejadian demi kejadian
yang terjadi di desa bukanlah hanya sebatas kebetulan atau cobaan dari Allah
semata, melainkan seperti adanya kutukan yang terjadi sepeninggal mbah Sabdo,
simpulan tersebut bukan hanya sebatas karangan dari warga atau hanya omong
kosong tanpa adanya dasar, tetapi mereka juga mempunyai bukti bahwa dua
kejadian yang amat sangat parah ini selalu terjadi tepat pada tanggal 11
Agustus yang bertepatan dengan haul wafatnya
mbah Sabdo, karena sebelum mbah sabdo menghembuskan nafas terakhirnya keadaan
desa sangatlah tentram, dan tidak pernah ada musibah atau bencana yang melanda
desa Sawo baik itu hujan badai ataupun puting beliung yang seperti terjadi
sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, terdapat
pembicaraan antar warga untuk menjawab segala pertanyaan mengapa setiap
peringatan tanggal 11 Agustus atau tepat pada hari peringatan wafatnya mbah
Sabdo selalu terjadi kejadian aneh yang sangat merugikan warga sekitar baik
secara materi ataupun yang lain, lebih-lebih banyak keluarga yang kehilangan
nyawa keluargannya akibat kejadian tersebut. Tiba-tiba pada pertengahan
pembicaraan munculah seseorang yang dianggap paling mengerti tentang asal usul
desa Sawo dan pendiri desa yaitu mbah Sabdo yang biasa di panggil sebagai juru
kunci oleh masyarakat sekitar memberikan sebuah pernyataan yang mengejutkan.
Berdasarkan keterangan juru kunci, mbah Sabdo pernah memberikan wasiat bahwa
desa sawo ini membutuhkan sesajen setiap tahunnya, dan apabila tidak terpenuhi
maka akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan contohnya seperti kejadian
berturut-turut yang terjadi selama dua tahun berturut-turut di desa, dan
musibah tersebut akan terjadi ketika pada hari peringatan wafatnya mbah Sabdo
tidak melakukan wasiat sesuai yang telah disampaikan beliau kepada juru kunci.
Menjelang satu bulan peringatan wafatnya
mbah Sabdo yang ketiga, penduduk desa menjadi sangat ketakutan, suasana yang
terjadi di lingkungan desa juga terlihat sangat mencekam seolah-olah akan
terjadi musibah besar selanjutnya menyusul musibah-musibah yang terjadi dua
tahun berturut-turut. Demi keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan penduduk
desa Sawo, juru kunci keramatpun menganjurkan untuk diadakannya nyadran atau menyiapkan sesajen yang
telah diwasiatkan mbah Sabdo kepadanya, penduduk desa berpikir tidak ada
salahnya mencoba melakukan ritual tersebut siapa tahu dengan menjalankan ritual
sesajen dapat menghindarkan desa dari segala bahaya, musibah, dan petaka.
Pemikiran tersebut muncul karena mbah Sabdo dulunya juga terkenal memiliki
kekuatan mistis.
Sesajen yang digunakan dalam ritual nyadran juga tidak main-main, melainkan
harus mengorbankan sapi yang ukuran kepalanya harus super besar. Konon pernah
dicoba mengorbankan sapi yang berukuran kecil, namun setelah sapi selesai
dikorbankan awan menjadi gelap yang berwarna abu-abu kehitaman dan diikuti
dengan angin yang lama kelamaan semakin kencang, namun anehnya angin dan awan
yang berwarna abu kehitam-hitaman hanya menyelimuti sekitar area penyembelihan
hewan sapi, dan tempat tersebut tepat berada di sebelah kiri makam mbah Sabdo,
wilayah desa Sawo yang lainnya keadannya normal, tidak ada awan hitam ataupun
angin yang berhembus kencang. Pendapat warga penduduk desapun bermunculan, dan
rata-rata mereka menyebutkan bahwa kejadian tersebut dikarenakan hewan sapi
yang mereka gunakan sebagai sesajen berukuran kecil, yang berarti bahwa
masyarakat desa mempunyai sifat yang pelit dan kikir untuk bershodaqoh, padahal
daging dari sembelihan sapi juga akan dibagikan kembali kepada penduduk desa,
hanya saja hati dari hewan sapi saja yang akan dibuang dimasukkan ke dalam
sumur yang tempatnya tepat berada di samping kiri makam mbah Sabdo.
Setahun sudah berlalu, peringatan
tanggal 11 Agustus akan segera dilaksanakan kembali oleh penduduk desa, berbeda
dengan haul mbah sabdo yang ketiga, haul yang
keempat ini dilaksanakan secara besar-besaran. Sapi yang digunakanpun berukuran
sangat besar, dengan harapan tidak ada musibah yang mendekati desa mereka
kembali. Tidak hanya sampai disitu, musik tradisional jawa juga turut diadakan
pada nyadran haul tahun keempat ini, penduduk desa turut
serta mengundang tayuban sebagai pemenuhan salah satu syarat dari wasiat yang
telah disampaikan oleh mbah sabdo melalui mbah Marwan yang sekarang sebagai
juru kunci makam. Ritual tersebut yang terdiri dari penyembelihan sapi
berukuran besar sebagai sesajen, musik keroncongan jawa sebagai pengiring,
beserta tayuban sebagai pemenuhan persyaratan. Ritual tersebut dilakukan selama
7 hari 7 malam, karena angka 7 dianggap sebagai angka yang sakral oleh sesepuh
dan masyarakat desa.
Sejak saat itu kejadian-kejadian aneh
yang dialami penduduk desa sudah tidak pernah terjadi lagi, masyarakat sekitar
memiliki kepercayaan bahwa sesajen yang dipersembahkan kepada penunggu desa
lewat perantara mbah Sabdo sudah diterima, sehingga desa Sawo kembali menjadi
desa yang tentram dan jauh dari musibah seperti sediakala. Waktu terus berlalu
seiring dengan perkembangan zaman, tahun demi tahun telah berganti, setiap haul
mbah Sabdo tradisi nyadran masih
terus dilakukan hingga pada 5 tahun belakangan ini sejak tahun 2010
ritual-ritual yang dilaksanakan sudah berbeda caranya, jika pada zaman dahulu
cara untuk menghormati pendiri desa dengan memberikan sesajen yang berupa kepala
sapi yang berukuran besar lengkap dengan musik keroncong beserta tayuban,
ritual tersebut sudah berbeda nama dengan sekarang, penduduk desa sering
menyebutnya sebagai sedekah bumi sebagai ungkapan rasa syukur atas segala
kenikmatan yang telah diberikan kepada masyarakat sawo, tetapi walaupun berbeda
cara yang dilakukan oleh penduduk zaman dahulu dengan zaman sekarang ritual tersebut tetap memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk menghormati pendiri desa sekaligus sebagai ucapan rasa syukur
para penduduk desa yang dijauhkan dari bencana dan marabahaya.
Pada tradisi sedekah bumi yang sekarang
ini mayoritas penduduk desa memberikan sebagian hasil panennya untuk dijadikan
sebagai sesajen, tetapi nantinya hasil dari pengumpulan sedekah bumi yang
diberikan oleh masyarakat sekitar juga akan dibagikan kembali kepada penduduk
desa. Biasanya juga ditambahi dengan tumpeng, dan musik-musik yang bernuansa
religi. Jadi, kebiasaan atau tradisi yang diyakini penduduk desa yang dahulu
sudah diganti dengan hal yang bersifat keagamaan yaitu dengan mengaji atau
khataman di area makam, tahlil, maupun istighosah, dan tradisi untuk
memperingati 11 Agustus tersebut masih tetap berlangsung sampai dengan
sekarang, tetapi dengan cara yang berbeda yaitu mengangkat unsur keagamaan.
Glosarium
Pesarean:
sebutan untuk makam atau kubuuran dalam bahasa Jawa.
Nyadran:
kegiatan warga desa dalam rangka memperingati sesuatu dengan diadakan acara
yang ramai atau besar.
Mbeso:
wayangan atau seperti tayub yang merupakan suatu tarian antara laki-laki dan
perempuan diiringi dengan gamelan ataupun alat music jawa lainnya.
0 comments:
Posting Komentar