Jangan lupa
besok malam, kita bermalam berdua, bertiga, berempat, atau boleh juga beramai-ramai.
Duduk di taman di bawah lampu dekat pohon salak, di situ, di kelurahan keramat
Jangan lupa
besok malam, genggamlah mimpi dan kebesaran hati, kita bumbui pula dengan
mental yang kuat. Mari kita duduk bersama, jangan sampai mati bersama, bisa saja
bolehlah sedikit berpikir tentang siap mati bersama, dalam lautan yang penuh
emosi
Jangan lupa
besok malam, kita juga bangun hati kembali, jika sudah tak kuat berdiri.
Bunyi-bunyian itu sepertinya burung merpati, sepertinya dia tak kuat lagi
berdiri bagaimana kalau kita buat mati saja, sepertinya dia hanya duri. Bisa
jadi dia kiriman sang bos besar yang pura-pura berempati. Pada kita, padaku,
padamu. Pada bintang yang pura-pura tersenyum itu. Bisa jadi, dia juga
penghianat, yang diantar para kompeni. Kompeni dari tanah sendiri, coba kalian
rasakan, sepertinya sudah tercium bau busuk, rasa-rasanya bau bangkai yang
dibungkus bau melati, aneh sekali. Baunya terkadang harum, tapi busuk, busuk
bagai bau darah dan nanah. Aku ingin muntah, sepertinya aku tak kuat berdiri,
aku berasa mati.
Mari
kawan-kawanku, kita cukupkan sampai di sini, aku ingi mati sejenak. Mati, mati
dan mati, kemudian aku ingin hidup lagi, membawa kebaruan mimpi.
Bangkalan,
12 September 2015
diantologikan dalam antologi puisi Rampak Naong oleh Dewan Kesenian Jawa Timur
0 comments:
Posting Komentar