Langit
di kota angin terlihat begitu gelap, tapi jalanan kota terlihat begitu sangat
padat. Tanggal 1 Muharam atau biasa orang Jawa
menyebutnya tanggal 1 Suro, tapi apapun namanya tanggal itu di kalenderku tetap
berwarna hitam yang menandakan aktivitasku tetap harus berjalan.
Tak
ada yang spesial menurutku, ketika banyak orang membicarakan rangkaian ritual Siraman Sedudo yang
berlangsung sehari penuh sebagai tanda perayaan Suro-an.
Tiba-tiba saja perasaanku terasa aneh ketika pemikiran “terkadang” ini muncul
di balik
setumpuk pemikiran aneh yang kumiliki. Terkadang aku begitu merasa sangat
mencintai adat-istiadat yang memang butuh penanganan yang tepat agar tidak
luntur dengan begitu saja, tapi terkadang aku seperti enyah dengan rangkaian
adat-istiadat yang menurutku nyleneh.
Aku
selalu merasa otakku kosong ketika harus diberi pertanyaan tentang
adat-istiadat. Aku merasa tak perlulah menjawab pertanyaan-pertanyaa itu,
karena meski terjawab terkadang pertanyaan logis itu mematikan adat-istiadat. Biarlah
pertanyaan itu menumpuk dan berjubel, adat tetaplah adat yang akan terus
berjalan beriringan bersama sebuah kedamaian. Seperti adat ritual Siraman
Sedudo yang menjadi begitu khas di
telinga
masyarakat Kota Nganjuk. Ritual Siraman sedudo adalah sebuah perayaan untuk
memeringati tanggal 1 Muharam atau yang lebih sering disebut dengan perayaan grebek suro. Sebelum berlangsung,
serangkaian acara telah dipersiapkan sebagai pengiring ritual siraman tersebut.
Pertama, seluruh lapisan masyarakat Kota Nganjuk melakukan kirap massal
dari Jalan Ahmad Yani hingga Air Terjun Sedudo. Maka saranku jika mengikuti acara ini, sebaiknya
jangan menggunakan sepatu,
karena akan menimbulkan banyak
luka lecet yang membekas dan
bau kaki yang begitu menyengat. Lebih baik gunakan sandal jepit saja. Ini karena kirap massal yang akan dimulai dari Jalan Ahmad Yani
hingga Air Terjun Sedudo itu memiliki
medan jalanan yang cukup panas dan jarak yang cukup jauh.
Selanjutnya, setelah seluruh
masyarakat Kota Nganjuk telah sampai di Air Terjun Sedudo, akan ada acara makan
bersama. Acara makan bersama ini memiliki tujuan untuk menumbuhkan rasa solidaritas
sesama masyarakat Nganjuk. Cara makan bersama ini dapat dibilang unik yaitu
dengan bergerumbul dalam satu tampah
besar. Rasa lelah yang sempat menggerogoti tubuh, tiba-tiba menghilang
begitu saja ketika setumpuk makanan lezat menawarkan kenikmatan tersendiri. Disertai alunan gemericik air terjun yang menambah suasana menjadi begitu indah.
Setelah
acara makan bersama usai, segerombolan
wanita setengah baya membersihkan seluruh tempat makan tersebut untuk menyulapnya sebagai tempat menari ketujuh wanita cantik. Mereka adalah para ramaja berusia ± 17 tahun yang
berdandan dengan mengenakan pakian adat Jawa. Rambut terurai dan
membawa kendi yang berisikan kembang tujuh rupa. Kemudian mereka menari meliuk-liukkan
tubuhnya diiringi pukulan gamelan.
Setelah menari, para wanita itu masuk
ke dalam kolam genangan
air terjun. Lalu
berdiri berjajar tepat di bawah jatuhnya air. Rambut yang terurai dibiarkan langsung terguyur jatuhan air terjun.
Kemudian, tujuh wanita cantik
menumpahkan kendi yang berisi kembang tujuh rupa ke dalam genangan air terjun, lalu menenggelamkan tubuh
mereka ke dalamnya. Setelah seluruh tubuh basah, mereka keluar dari genangan air dan mulai mengeringkan tubuhnya. Selanjutnya giliran
para lelaki yang membawa keris atau pedang pegangan bergantian mencucinya dengan
air genangan bekas mandi ketujuh wanita cantik tersebut. Setelah itu, para warga Kota Nganjuk pun bergantian pula mandi di bawah guyuran Air Terjun Sedudo. Warga percaya jika mandi di bawah
guyuran Air Terjun Sedudo akan membuat awet muda dan menambah aura positif di wajah.
Entahlah,
ketika aku mengikuti serangkaian ritual Siraman Sedudo ada pemikiran yang
menggelitik di otakku tapi enggan kusampaikan. Karena aku mencoba menghormati
mereka yang mempercayai serangkain ritual tersebut, meski terkadang batas
logikaku ingin muntah, mendorongku untuk menanyakan berbagai alasan mereka
mempercayai ritual tersebut. Ahh sudahlah, ritual itu pun sudah menjadi adat
yang telah mendarah daging di kota angin itu, biar logika kadang tak sampai
pada kenyataan adat. Siraman Sedudo akan tetap menjadi ritul tahunan yang
melegendaris di Kota Nganjuk.
Penulis : Arum Puriani
Editor : Anggun PAM
Ilustrasi: www.ngiman.com
0 comments:
Posting Komentar