Jumat, 19 Februari 2016

Meski Tak Logis Siraman Sedudo Sudah Mendaging



Langit di kota angin terlihat begitu gelap, tapi jalanan kota terlihat begitu sangat padat. Tanggal 1 Muharam atau biasa orang Jawa menyebutnya tanggal 1 Suro, tapi apapun namanya tanggal itu di kalenderku tetap berwarna hitam yang menandakan aktivitasku tetap harus berjalan.

Tak ada yang spesial menurutku, ketika banyak orang membicarakan rangkaian ritual Siraman Sedudo yang berlangsung sehari penuh sebagai tanda perayaan Suro-an. Tiba-tiba saja perasaanku terasa aneh ketika pemikiran “terkadang” ini muncul di balik setumpuk pemikiran aneh yang kumiliki. Terkadang aku begitu merasa sangat mencintai adat-istiadat yang memang butuh penanganan yang tepat agar tidak luntur dengan begitu saja, tapi terkadang aku seperti enyah dengan rangkaian adat-istiadat yang menurutku nyleneh.

Aku selalu merasa otakku kosong ketika harus diberi pertanyaan tentang adat-istiadat. Aku merasa tak perlulah menjawab pertanyaan-pertanyaa itu, karena meski terjawab terkadang pertanyaan logis itu mematikan adat-istiadat. Biarlah pertanyaan itu menumpuk dan berjubel, adat tetaplah adat yang akan terus berjalan beriringan bersama sebuah kedamaian. Seperti adat ritual Siraman Sedudo yang menjadi begitu khas di telinga masyarakat Kota Nganjuk. Ritual Siraman sedudo adalah sebuah perayaan untuk memeringati tanggal 1 Muharam atau yang lebih sering disebut dengan perayaan grebek suro. Sebelum berlangsung, serangkaian acara telah dipersiapkan sebagai pengiring ritual siraman tersebut.

Pertama, seluruh lapisan masyarakat Kota Nganjuk melakukan kirap massal dari Jalan Ahmad Yani hingga Air Terjun Sedudo. Maka saranku jika mengikuti acara ini, sebaiknya jangan menggunakan sepatu, karena akan menimbulkan banyak luka lecet yang membekas dan bau kaki yang begitu menyengat. Lebih baik gunakan sandal jepit saja. Ini karena kirap massal yang akan dimulai dari Jalan Ahmad Yani hingga Air Terjun Sedudo itu memiliki medan jalanan yang cukup panas dan jarak yang cukup jauh.        
   
Selanjutnya, setelah seluruh masyarakat Kota Nganjuk telah sampai di Air Terjun Sedudo, akan ada acara makan bersama. Acara makan bersama ini memiliki tujuan untuk menumbuhkan rasa solidaritas sesama masyarakat Nganjuk. Cara makan bersama ini dapat dibilang unik yaitu dengan bergerumbul dalam satu tampah besar. Rasa lelah yang sempat menggerogoti tubuh, tiba-tiba menghilang begitu saja ketika setumpuk makanan lezat menawarkan kenikmatan tersendiri. Disertai alunan gemericik air terjun yang menambah suasana menjadi begitu indah.   
     
Setelah acara makan bersama usai, segerombolan wanita setengah baya membersihkan seluruh tempat makan tersebut untuk menyulapnya sebagai tempat menari ketujuh wanita cantik. Mereka adalah para ramaja berusia ± 17 tahun yang berdandan dengan  mengenakan pakian adat Jawa. Rambut terurai dan membawa kendi yang berisikan kembang tujuh rupa. Kemudian mereka menari meliuk-liukkan tubuhnya diiringi pukulan gamelan. Setelah menari, para wanita itu masuk ke dalam kolam genangan air terjun. Lalu berdiri berjajar tepat di bawah jatuhnya air. Rambut yang terurai dibiarkan langsung terguyur  jatuhan air terjun.            

Kemudian, tujuh wanita cantik menumpahkan kendi yang berisi kembang tujuh rupa ke dalam genangan air terjun, lalu menenggelamkan tubuh mereka ke dalamnya. Setelah seluruh tubuh basah, mereka keluar dari genangan air dan mulai mengeringkan tubuhnya. Selanjutnya giliran para lelaki yang membawa keris atau pedang pegangan bergantian mencucinya dengan air genangan bekas mandi ketujuh wanita cantik tersebut. Setelah itu, para warga Kota Nganjuk pun bergantian pula mandi di bawah guyuran Air Terjun Sedudo. Warga percaya jika mandi di bawah guyuran Air Terjun Sedudo akan membuat awet muda dan menambah aura positif di wajah.

Entahlah, ketika aku mengikuti serangkaian ritual Siraman Sedudo ada pemikiran yang menggelitik di otakku tapi enggan kusampaikan. Karena aku mencoba menghormati mereka yang mempercayai serangkain ritual tersebut, meski terkadang batas logikaku ingin muntah, mendorongku untuk menanyakan berbagai alasan mereka mempercayai ritual tersebut. Ahh sudahlah, ritual itu pun sudah menjadi adat yang telah mendarah daging di kota angin itu, biar logika kadang tak sampai pada kenyataan adat. Siraman Sedudo akan tetap menjadi ritul tahunan yang melegendaris di Kota Nganjuk.

Penulis   : Arum Puriani
Editor    : Anggun PAM
Ilustrasi: www.ngiman.com

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar