Jumat, 06 November 2015

Stereotip Meduro

Sepanjang acara reunian siang itu aku dijadikan bahan tertawaan. Penyebabnya hanya satu: karena aku kuliah di Madura. Meskipun beberapa dari temanku, baik yang bekerja di pabrik maupun kuliah di swasta, agaknya mereka lebih bangga daripada diriku, yang kuliah di PTN, tapi di Madura. Maka reunian SMK itu pun membuatku muak.

Muak terutama pada guruku sendiri: Samsul Hadi, S.Pd. Beliaulah yang memulai lelucon tidak lucu ini. Sejak acara dimulai pak Sam menyudutkanku dengan humor-humornya tentang Meduro, tentang stereotip kasar, peminta-minta, kumuh, dan berkulit hitam. Mendengar perkataannya teman-temanku kembali tertawa. Tapi aku hanya diam, kesal, tidak nyaman. Bahkan, semakin pak Sam menyudutkanku, teman-teman semakin tertarik. Mereka menertawakan kulitku yang lebih coklat daripada ketika di Jawa. Mereka juga mengejek logat Jawaku yang cenderung campur dialek Madura. Malahan, karena semakin tertarik, mereka bertanya padaku beberapa kata dalam bahasa Madura. Aku menyebutkan beberapa yang kumengerti. Lalu mereka semakin terbahak-bahak, bukan hanya tertawa, lebih kepada menertawakan.

Tapi semua itu tak lebih memalukan, ketimbang perkataan pak Sam selanjutnya, ketika bercerita pada teman-teman tentang karakteristik orang Madura. Saat itu aku berharap pak Sam menghentikan lelucon rasialismenya, lalu memperbaiki ucapannya.

Namun ternyata tidak! Bukannya tentang kebaikan, pak Sam malah menceritakan keburukan orang Madura. Beliau mengatakan masyarakat Madura cenderung tidak memiliki sopan santun, penuh kekerasan, sensitif, dan kasar. Menyimak itu teman-temanku konsentrasi penuh. Sementara dalam keadaan lain, hatiku panas mendengar semua kebohongan dari pak Sam, karena aku, orang Jawa yang berdomisili di Madura ini, tahu sendiri bagaimana kebaikan dan kearifan penduduk lokal.

Pernah, suatu sore, di Bangkalan, terjebak hujan lebat di tengah jalan. Seorang penduduk lokal tiba-tiba memanggilku. Aku tidak begitu paham maksudnya karena ia memakai bahasa daerah. Tapi dari gerak tangannya ia mengisyaratkan agar aku berteduh dalam rumahnya. Aku pun bergegas ke sana, lalu kami berbincang banyak hal. Dalam waktu singkat kami begitu akrab. Pernah, suatu siang, motorku kehabisan bensin, lalu seorang penduduk lokal bersedia menuangkan bensin ke motorku. Karenanya kuliahku tidak terlambat, dan aku berhutang budi pada orang berhati mulia itu. Pernah, suatu pagi, di awalsemester, kebingungan mencari tempat kost, tapi seorang dari Kamal menunjukkan arah ke perumahan Telang Indah, dan darinya, aku tahu tempat kost paling murah dengan kondisi sangat layak.

Mengingat semua itu, terkadang aku merasa sedih, menyadari banyak orang-orang luar, entah temanku, guruku, atau keluargaku, yang memiliki stereotip buruk tentang Madura. Memahami itu, aku ingin mengatakan suatu kebenaran. Sehingga, suatu siang dalam acara reuni SMK, aku berkata pada pak Sam dan teman-temanku, untuk menyadarkan mereka. “Mungkin karena keadaan geografis orang Madura berkulit lebih coklat, karena itu dapat dijelaskan secara ilmiah, betapa panasnya daerah pesisir. Tapi bukankah sebagian dari mereka berkulit kuning langsat? Atau mungkin orang Madura memang bersifat kasar, tapi bukankah tidak semuanya seperti itu?” Semuanya tertegun. Aku menceritakan pengalaman selama satu semester di Madura, tentang kebaikan penduduk lokal dan kearifannya, juga tentangtokoh-tokoh inspiratif di sekitar. Maka orang terdekat di kelas yang kusebut adalah Fatur, karena darinya aku belajar hakikat keberanian dan kebenaran. Dari Fatur pula aku belajar kebijaksanaan seorang pemimpin. Tidak lupa juga darinya aku belajar rendah hati dan memaknai sebuah konsistensi. Selain Fatur, orang kedua yang memotivasiku adalah kak Habibi. Aku tak begitu mengenalnya, pun tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya tahu kisahnya dari seluruh penghuni kost. Kak Habibi terkenal cerdas dalam bidang teknologi informasi. Ia seorang pekerja keras dan alim. Saban subuh mengaji di masjid, dan setiap Senin Kamis puasa sunah. Kak Habibi, yang kuketahui dari cerita, adalah seorang jarang tidur dan lebih banyak membaca buku. Kabar terbaru darinya adalah kini ia sedang melanjutkan S2 di Belanda.

Mengingat tokoh inspiratif yang satu ini, aku mengeluarkan sebuah foto untuk ku tunjukkan pada pak Sam. Di dalam foto itu terdapat kak Habibi dengan rektor Universitas Trunojoyo Madura—pak Arifin waktu itu—sedang meraih penghargaan robot internasional. Aku bercerita pada pak Sam, betapa aku mengagumi sosok pria hitam dan berambut keriting itu. Mungkin dari segi penampilan kak Habibi tak menarik, tapi lihatlah, betapa sederhana ia berdiri di samping petinggi universitas.

Pak Sam yang sekarang pendiam, tanpa sadar mengangguk keheranan. Tampak wajahnya kagum, takjub, perasaan haru mengaduk hatinya. Dari tatapannya, melihat foto itu, aku tahu perasaannya. Pak Sam menyadari kesalahan tentang stereotip Madura. Tentang kejelekan dan keburukan orang Madura. Tentang rendahnya Sumber Daya Manusia. Dan jelas, tercetak air mukanya, penyesalan telah melanda. Menyesal menertawakan orang Madura.

Maka, meski acara reunian SMK itu sederhana, banyak pengalaman yang kudapatkan dari semua. Meski awalnya aku merasa malu disudutkan, pun ditertawakan karena kuliah di Madura, aku yakin satu hal: pak Sam lebih malu daripada diriku, ketika beliau menyadari bahwa stereotip Madura, tentang kekerasan, perasaan sensitif, watak yang kasar, semuanya belum tentu benar, karena bagiku, sikap seseorang harus dilihat dari sudut pandang objektif: bagaimana engkau akan tumbuh dan berkembang, dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.

gigih febri


Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar