Sepanjang
acara reunian siang itu aku dijadikan bahan tertawaan. Penyebabnya hanya satu:
karena aku kuliah di Madura. Meskipun beberapa dari temanku, baik yang bekerja
di pabrik maupun kuliah di swasta, agaknya mereka lebih bangga daripada diriku,
yang kuliah di PTN , tapi di
Madura. Maka reunian SMK itu pun membuatku muak.
Muak
terutama pada guruku sendiri: Samsul Hadi, S.Pd. Beliaulah yang memulai lelucon
tidak lucu ini. Sejak acara dimulai pak Sam menyudutkanku dengan humor-humornya
tentang Meduro, tentang stereotip kasar,
peminta-minta, kumuh, dan berkulit hitam. Mendengar perkataannya teman-temanku kembali
tertawa. Tapi aku hanya diam, kesal, tidak nyaman. Bahkan, semakin pak Sam
menyudutkanku, teman-teman semakin tertarik. Mereka menertawakan kulitku yang
lebih coklat daripada ketika di Jawa. Mereka juga mengejek logat Jawaku yang
cenderung campur dialek Madura. Malahan, karena semakin tertarik, mereka
bertanya padaku beberapa kata dalam bahasa Madura. Aku menyebutkan beberapa
yang kumengerti. Lalu mereka semakin terbahak-bahak, bukan hanya tertawa, lebih
kepada menertawakan.
Tapi
semua itu tak lebih memalukan, ketimbang perkataan pak Sam selanjutnya, ketika bercerita
pada teman-teman tentang karakteristik orang Madura. Saat itu aku berharap pak
Sam menghentikan lelucon rasialismenya, lalu memperbaiki ucapannya.
Namun
ternyata tidak! Bukannya tentang kebaikan, pak Sam malah menceritakan keburukan
orang Madura. Beliau mengatakan masyarakat Madura cenderung tidak memiliki
sopan santun, penuh kekerasan, sensitif, dan kasar. Menyimak itu teman-temanku
konsentrasi penuh. Sementara dalam keadaan lain, hatiku panas mendengar semua
kebohongan dari pak Sam, karena aku, orang Jawa yang berdomisili di Madura ini,
tahu sendiri bagaimana kebaikan dan kearifan penduduk lokal.
Pernah,
suatu sore, di Bangkalan, terjebak hujan lebat di tengah jalan. Seorang
penduduk lokal tiba-tiba memanggilku. Aku tidak begitu paham maksudnya karena ia
memakai bahasa daerah. Tapi dari gerak tangannya ia mengisyaratkan agar aku
berteduh dalam rumahnya. Aku pun bergegas ke sana, lalu kami berbincang banyak
hal. Dalam waktu singkat kami begitu akrab. Pernah, suatu siang, motorku
kehabisan bensin, lalu seorang penduduk lokal bersedia menuangkan bensin ke
motorku. Karenanya kuliahku tidak terlambat, dan aku berhutang budi pada orang berhati
mulia itu. Pernah, suatu pagi, di awalsemester, kebingungan mencari tempat
kost, tapi seorang dari Kamal menunjukkan arah ke perumahan Telang Indah, dan darinya,
aku tahu tempat kost paling murah dengan kondisi sangat layak.
Mengingat
semua itu, terkadang aku merasa sedih, menyadari banyak orang-orang luar, entah temanku, guruku, atau keluargaku, yang
memiliki stereotip buruk tentang Madura. Memahami itu, aku ingin mengatakan
suatu kebenaran. Sehingga, suatu siang dalam acara reuni SMK, aku berkata pada
pak Sam dan teman-temanku, untuk menyadarkan mereka. “Mungkin karena keadaan
geografis orang Madura berkulit lebih coklat, karena itu dapat dijelaskan
secara ilmiah, betapa panasnya daerah pesisir. Tapi bukankah sebagian dari
mereka berkulit kuning langsat? Atau mungkin orang Madura memang bersifat kasar,
tapi bukankah tidak semuanya seperti itu?” Semuanya tertegun. Aku menceritakan
pengalaman selama satu semester di Madura, tentang kebaikan penduduk lokal dan
kearifannya, juga tentangtokoh-tokoh inspiratif di sekitar. Maka orang terdekat
di kelas yang kusebut adalah Fatur, karena darinya aku belajar hakikat
keberanian dan kebenaran. Dari Fatur pula aku belajar kebijaksanaan seorang
pemimpin. Tidak lupa juga darinya aku belajar rendah hati dan memaknai sebuah
konsistensi. Selain Fatur, orang kedua yang memotivasiku adalah kak Habibi. Aku
tak begitu mengenalnya, pun tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya tahu
kisahnya dari seluruh penghuni kost. Kak Habibi terkenal cerdas dalam bidang
teknologi informasi. Ia seorang pekerja keras dan alim. Saban subuh mengaji di
masjid, dan setiap Senin Kamis puasa sunah. Kak Habibi, yang kuketahui dari
cerita, adalah seorang jarang tidur dan lebih banyak membaca buku. Kabar
terbaru darinya adalah kini ia sedang melanjutkan S2 di Belanda.
Mengingat
tokoh inspiratif yang satu ini, aku mengeluarkan sebuah foto untuk ku tunjukkan
pada pak Sam. Di dalam foto itu terdapat kak Habibi dengan rektor Universitas
Trunojoyo Madura—pak Arifin waktu itu—sedang meraih penghargaan robot
internasional. Aku bercerita pada pak Sam, betapa aku mengagumi sosok pria
hitam dan berambut keriting itu. Mungkin dari segi penampilan kak Habibi tak
menarik, tapi lihatlah, betapa sederhana ia berdiri di samping petinggi
universitas.
Pak
Sam yang sekarang pendiam, tanpa sadar mengangguk keheranan. Tampak wajahnya
kagum, takjub, perasaan haru mengaduk hatinya. Dari tatapannya, melihat foto
itu, aku tahu perasaannya. Pak Sam menyadari kesalahan tentang stereotip
Madura. Tentang kejelekan dan keburukan orang Madura. Tentang rendahnya Sumber
Daya Manusia. Dan jelas, tercetak air mukanya, penyesalan telah melanda. Menyesal
menertawakan orang Madura.
Maka,
meski acara reunian SMK itu sederhana, banyak pengalaman yang kudapatkan dari
semua. Meski awalnya aku merasa malu disudutkan, pun ditertawakan karena kuliah
di Madura, aku yakin satu hal: pak Sam lebih malu daripada diriku, ketika
beliau menyadari bahwa stereotip Madura,
tentang kekerasan, perasaan sensitif, watak yang kasar, semuanya belum tentu
benar, karena bagiku, sikap seseorang harus dilihat dari sudut pandang
objektif: bagaimana engkau akan tumbuh
dan berkembang, dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
gigih febri
0 comments:
Posting Komentar