Mulanya hanya iseng.
Keisengan di tengah kejumudan dan kesuntukan suasana “komunitas” kampus yang
tak menawarkan panorama kreativitas seni. Kalau pun ada, itu sebatas
ritual-ritual formal. Pertunjukan seni seperti menunggu “dalam rangka”. Seniman
pun bercokol seperti badut-ulang-tahun yang menunggu undangan. Keisengan itu
timbul dalam diskusi mingguan Lingkar Studi Budaya Madura (LSBM).
Awal September,
komunitas yang menaruh perhatiannya pada kajian-kajian nilai dan spirit budaya
Madura, mengagendakan “Malam Puisi” di awal bulan Oktober. “Malam Puisi”,
bukanlah satu perayaan akan nilai-nilai seni dengan penuh gegap gempita.
Gagasan itu tumbuh dan berkembang seperti rumput di tepi jalan. Tak ada
keinginan untuk wah, apalagi menarik
perhatian para pekerja seni kampus. Sekali lagi, gagasan itu hanya iseng. Gagasan
itu hanya sekadar mengakrabkan teman-teman LSBM yang saban Rabu malam berkumpul
di perpus lama Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Saban Rabu malam, “Malam Puisi”
dimatangkan. Kami pun –dengan menilik keterbatasan kami- hanya mengagendakan
untuk mengajak teman-teman dekat.
Menginjak penghujung
September, semangat teman-teman LSBM sempat kendur. Mereka tidak mendapat area
tempat yang asyik untuk merayakan “Malam Puisi”-nya. Beberapa tempat strategis
telah dibooking oleh berbagai
kegiatan HMP, BEM dan Prodi. Mereka setengah putus asa.
Suatu hari, tersiarlah
kabar: Salim Kancil dibunuh. Kami terbelalak. Berhari-hari teman-teman LSBM hanya
bisa menggerutu. Kegagalan “Malam Puisi” yang membayang dan kematian Salim
Kancil yang berhamburan di media sosial, menyisakan pertanyaan sedih: pada ke
mana para aktivis itu?
Pada ke mana para
aktivis itu? Pertanyaan itu kami ulang-ulang di setiap pertemuan kecil. “Malam
Puisi” telah sepi diperbincangkan, seperti para aktivis (:mahasiswa) yang abai
akan makna solidaritas. Dua hari jelang tanggal 1 Oktober, seorang teman LSBM
mengajukan beberapa pertanyaan dengan nada serius, kenapa kita mesti bertanya
pada ke mana para aktivis itu? Kenapa kita tidak ikut serta menyatakan sikap
dan solidaritas kita atas pembunuhan Salim Kancil? Tidak malukah kita, orang-orang
yang suka seni, hanya berpangku tangan atas kasus kemanusiaan?
Beberapa pertanyaan itu
memang diucapkan dengan nada serius, sehingga serasa mata belati yang mengancam.
Tapi kami pun masih ragu akan kebenaran seni yang lahir dari kegelisahan atas
hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Meski berulang saling tatap, kami tetap tak
kuasa untuk menemukan jawaban yang lantang. Salim Kancil seorang petani berani
berjuang demi lingkungannya. Dia seorang petani yang tak pernah meneriakkan
dirinya sebagai agent of change.
Salim Kancil mungkin tidak mengenal istilah hegemoni-nya Gramsci; dia mungkin
tidak pernah melafalkan revolusi. Tapi Salim Kancil ternyata punya mata hati
untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa dan pengusaha. Salim Kancil melawan.
Salim Kancil dibunuh.
Bagaimana kalau kita
menggelar aksi solidaritas Salim Kancil? Pertanyaan sekaligus ajakan yang
nyinyir diucapkan seorang teman LSBM yang lain. Sejenak kami mengambil nafas.
Solidaritas? Eh, lagi-lagi kami ragu untuk merayakan. Bisakah solidaritas kami
mengubah nasib kematian Salim Kancil? Bisakah solidaritas membuat aparat
penegak hukum jadi sigap, tegas, berani dan jujur dalam mengusut tuntas kasus kematian
Salim Kancil? Kami masih sedikit ragu. Ingatan kami masih lekang dengan
kematian Sarinah, hilangnya Wiji Tukul, kematian Munir, dan lainnya.
Tapi puisi bukan sejarah
atau anti sejarah, melainkan suara yang dalam sejarah senantiasa mengucapkan
sesuatu yang berbeda, ucap Octavia Paz melalui mulut seorang teman LSBM yang
lain. Puisi, suara lain? Tiba-tiba kami seperti menemukan jalan dan alasan yang
tepat untuk bangkit. Kami mesti menunjukkan sikap dan rasa solidaritas kami
atas kematian saudara kami: Salim Kancil. Kami akan menggelar “Malam Puisi dan
Orasi Solidaritas kematian Salim Kancil”.
Mulanya kami tetap
pesimis. “Malam puisi dan Solidaritas Salim Kancil” akan berlangsung sepi dan
hambar. Tapi dugaan kami salah. Puisi memang menjadi suara lain kejumudan kami.
Kamis, 1 Oktober 2015, bertempat di Auditorium UTM, “Malam Puisi dan
Solidaritas Salim Kancil” benar-benar membuat kami takjub. Puisi begitu ajaib.
Solidaritas kemanusiaan begitu agung. Kami tak menyangka, malam itu para
pekerja seni kampus berbondong-bondong untuk membacakan puisi dan orasi
solidaritasnya pada kematian Salim Kancil. Kami mencatat teman-teman yang ikut
membacakan puisi: Mahendra Cipta (penyair/aktor) Ach. Baijuri (aktor), Chaek
(pemusik), Zen (aktor), Niya Rohmatin (penari), Heni (penari), Hafidz Angrongo
(aktor), Boncel (pemusik), teman-teman Komunitas Tikar Merah, Teater Akar,
Komunitas Karsa, UKM Seni Nanggala, Teater Sabit, Blue Murder, dan Sunei Desis.
Malam itu, kami pun jadi
paham. Puisi bukan sekadar lagi suara lain dari zamannya. Puisi telah menjelma
lenguhan panjang kami untuk selalu bergandeng tangan, menyuarakan kutukan
terhadap kesewenang-wenangan. Dalam puisi, kematian Salim Kancil bukan sekadar
nasib naas. Kematian Salim Kancil menjelma lonceng peringatan, bahwa kami
selama ini telah dininabobokan oleh dongeng-dongeng kemajuan. Padahal
lingkungan dan eksistensi kami saban hari terus tergerus.
Oleh Set Wahedi
0 comments:
Posting Komentar